Lody kecil sering mendengar ejekan, tidak hanya dari teman-teman, bahkan dari keluarganya sendiri sering mengatainya “Si Buta dari Goa Hantu”. Dia sudah sering mendengar hinaan yang berkaitan dengan kebutaan yang disandangnya hingga membuat Lody terbiasa dan tidak menganggap itu masalah. Telinganya sudah cukup kebal mendengar cacian orang lain terhadap dirinya. Stigma buruk itu terus dialami, padahal tidak ada seorang pun yang ingin dilahirkan dalam keadaan buta. Lody hanya bisa melihat cahaya dan warna dengan samar, tanpa tahu bentuknya seperti apa.
Kedua orangtuanya sering membelikan mainan yang mengeluarkan bunyi seperti harmonika kecil, piano mainan, gitar okulele, bahkan om-nya pernah membelikan Lody saron salah satu instrument gamelan. Dari semua mainan yang dia punya, Lody paling suka bermain piano mainan. Saat usianya lima tahun sudah bisa memainkan lagu Ibu Kita Kartini dengan piano mainan. Kemudian dia dan mamanya kembali ke Medan dan tinggal disana atas permintaan atok-nya. Menginjak usia enam tahun, Lody sekolah di SLB A Pembina Medan dan bersekolah di sana selama tiga tahun.
Pada tahun 1993 dia pindah lagi ke Jakarta untuk mencari sekolah yang memiliki fasilitas lebih lengkap guna mendukung belajarnya. Namun, setelah di Jakarta mamanya mengalami kondisi finansial yang sulit. Status beliau sebagai istri kedua membuatnya tidak mendapatkan nafkah yang cukup, selain itu karena terjadi perebutan harta dalam keluarga hingga terjadi konflik lalu Lody dan mamanya diusir dari keluarga. Kemudian terpaksa tinggal menumpang dengan anak buah papanya. Satu per satu kakak-kakaknya diboyong ke Jakarta dan mulai mencari kontrakan di Kalimalang dengan kondisi tempat tinggal yang kurang layak. Dikarenakan kondisi finansial orangtuanya masih sulit, ditambah lagi papa Lody dipensiunkan dini dari pekerjaannya karena ulahnya sendiri yang suka membawa wanita ke tempat kerja. Akhirnya Lody tidak bisa meneruskan sekolah. Tidak lama kemudian papanya mendapatkan pekerjaan dengan menjadi dosen di salah satu perguruan tinggi sebagai dosen ekonomi. Perekonomian mereka mulai membaik dan pindah kontrakan yang lebih layak di daerah Cijantung.
Setelah pindah ke Cijantung, pada akhir tahun 1995, Lody ingin kembali bersekolah.
“Sekolah khusus untuk anak tunanetra sangat jauh dari sini, Nak. Mama tidak bisa mengantarmu setiap hari,” kata mamanya sambil mencuci piring.
“Kalau begitu, Lody sekolah di TPA dekat sini saja, Ma,” tawarnya berdiri di dekat pintu dapur.
Mendengar ucapan Lody, mamanya merasa iba. Lalu menemui salah satu pengurus Taman Pendidikan Al qur’an di dekat rumah yang biasa dipanggil Bu Haji Sumantri. Awalnya, beliau menolak Lody karena khawatir dia diejek oleh anak-anak lain karena kondisi matanya. Namun, mamanya meyakinkan beliau bahwa Lody tidak akan terpengaruh oleh ejekan dari orang. Karena baginya hinaan dan cacian terhadap kondisi fisiknya telah menjadi makanan sehari-hari, karena memang itulah kenyataan yang harus diterima dengan lapang dada.
“Tolong bantu anak saya belajar, Bu Haji,” pinta mama Lody.
“Maaf, Bu. Saya khawatir anak Ibu hanya akan jadi bahan ejekan teman-temannya karena kondisi matanya,” sahut Bu Haji Sumantri.