Cherry memandang pantulan dirinya di kaca dengan semringah. Tubuhnya kini sudah terbalut seragam putih abu-abu. Ah, sebenarnya sudah sejak tiga hari yang lalu ia resmi jadi anak SMA, tapi hari inilah kali pertama ia secara resmi memakai seragam putih abu-abunya.
Yap, MOS sudah berakhir, yang artinya Cherry secara resmi sudah jadi murid SMA Bakti Siswa.
Cherry menggerai rambutnya yang menjulur melewati bahu. Rambut hitamnya yang indah dan menjadi aset kebanggaannya itu sudah tersisir rapi. Ibaratnya, ada badai menerpa di jalan pun rambut itu akan kembali lurus seperti semula. Seragam, sip! Sepatu, sip! Kaus kaki, sip! Semua beres dan rapi. Cherry pun siap menjalani masa SMA-nya yang bakal penuh pengalaman baru.
Cherry membayangkan, hari pertama sekolah dengan seragam putih abu-abu akan menyenangkan. Ternyata realitanya jauh dari ekspektasi. Hari pertama Cherry cukup sial. Ia harus melompat turun dari bus yang penuh sesak oleh penumpang yang sebagian besar pelajar sepertinya. Sepenglihatannya, ada lima orang murid sekolahnya yang ikut turun bersamanya.
Cherry mengipasi lehernya dengan tangan. Percuma ia berdandan rapi dan cantik kalau akhirnya ia jadi bermandikan keringat. Ia tidak menyangka kalau Bang Virgo—kakaknya—tega meninggalkan dia berangkat ke kampus duluan. Cherry jadi terpaksa naik bus karena tidak ada satu pun tukang ojek yang terlihat di pangkalan ojek depan kompleks. Sepertinya Cherry harus membiasakan diri untuk naik kendaraan umum karena tidak selamanya ia bisa mengandalkan kakaknya untuk mengantarkan dia ke sekolah.
Dari halte tempat Cherry turun, ia harus berjalan sekitar empat puluh meter sebelum sampai di gerbang sekolahnya. Beruntung, jam baru menunjukkan pukul 06.15 dan Cherry bisa berjalan sedikit santai.
“Cher, makan yuk! Katanya mi bakso kantin sini enak, lho!” Cherry menatap Kania sambil membereskan alat tulisnya. Mereka baru saja berkenalan dengan Pak Guntoro, wali kelas mereka yang kocak.
“Mi bakso? Boleh. Yuk, Kan,” ucap Cherry semangat. Lalu, ia merangkul Kania dan berlalu menuju ke kantin. Ketika mereka melewati belokan di ujung koridor, seseorang menubruknya dengan cukup keras.