Sabtu sore, Nico memutuskan untuk mampir ke salah satu pusat perbelanjaan di daerah Semanggi sepulang bimbel. Tadinya Nico menghubungi dua sahabatnya, Arif dan Dika, untuk ia ajak main. Tetapi, kedua temannya itu sedang ada urusan masing-masing. Mau tak mau Nico memilih pergi sendiri ke mal tersebut.
Nico memutuskan mengunjungi toko buku yang ada di mal itu. Nico menatap deretan komik Detective Conan yang bersusun rapi di rak. Tidak hanya matanya, jarinya ikut menelusuri satu per satu komik berseri itu, mengingat-ingat sudah sampai seri keberapa ia membacanya kali terakhir.
Setelah menemukan apa yang dicarinya, Nico bergegas membawa komiknya ke kasir. Namun, langkahnya terhenti. Tatapannya terarah kepada cewek yang sedang celingak-celinguk menatap keadaan sekitar.
Awalnya Nico mengira cewek itu akan menyelundupkan komik ke dalam tasnya. Nico sama sekali tidak berniat untuk melaporkannya karena toko buku tempatnya sekarang punya alat pendeteksi di pintu masuk serta CCTV di berbagai sudut. Tetapi, setelah Nico memperhatikan lagi, dia mulai ingat kalau wajah cewek itu familier.
“Aman!” ucap cewek itu pelan, tapi Nico masih bisa mendengarnya karena dia berdiri persis di belakangnya. Mereka hanya dibatasi oleh sebuah rak. Nico terus memperhatikan gerak-gerik cewek itu sampai cewek di depannya itu berjongkok dan menghilang dari pandangannya.
Sebenarnya, Nico bukan tipikal orang kepo yang akan mengendap-endap untuk melihat apa yang sedang dilakukan cewek tadi. Tetapi, wajah familier gadis itu membuatnya mau tidak mau mengintip apa yang sedang dilakukannya. Nico terkejut dengan apa yang dilihatnya kemudian. Dia tidak menyangka, kalau cewek itu sedang duduk di lantai toko buku dengan komik di tangannya.
Jadi, dari tadi cewek itu berusaha membuka bungkus plastik sebuah komik. Dan, sekarang dia berhasil mengeluarkan komik itu dari bungkusnya. Nico menggeleng-geleng melihat kelakuan cewek yang sedang duduk santai sambil membaca komik itu.
Nico lalu mengedikkan bahu dan berjalan meninggalkan tempat tersebut. Belum jauh ia berlalu, Nico mendengar suara pegawai toko buku yang menegur kelakuan cewek tadi.
“Mbak, kalau mau baca di sini cari yang udah nggak disegel aja.”
“Ih Mas, kalau ada yang udah nggak disegel juga saya pasti milih itu. Masalahnya ini nggak ada Mas!”
Perdebatan di antara keduanya semakin seru. Namun, seiring langkah Nico yang semakin menjauh, suara perdebatan mereka makin samar terdengar. Nico berusaha tidak memedulikannya. Tapi, tanpa dia sadari, bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. Senyuman yang sangat jarang bisa terlihat dari bibir seorang Nico Anugerah.
Cherry menghela napasnya, jenuh. Ia sudah duduk di lantai toko buku sambil membaca komik hampir satu jam lebih, dan Dika, cowok yang ia tunggu belum juga muncul. Hari ini dia dan teman-teman satu kelompoknya, janji ketemuan di toko buku untuk mencari buku sebagai bahan tugas mereka. Tapi, Demitri dan Acel, yang juga teman satu kelompoknya, sudah pulang lebih dulu setelah menemukan buku yang dicari. Mereka meninggalkan Cherry sendiri di toko buku tersebut.
Tak berapa lama, Dika yang baru berpacu dengan Rocky—motor kesayangannya—tiba di toko buku yang dijanjikan. Ia langsung mencari keberadaan Cherry. Dan, kakinya langsung melangkah ke rak tempat komik-komik berada.
Setelah hampir sebulan sekelas dengan Cherry, Dika tahu kalau cewek cerewet dan ceria itu adalah pencinta komik. Tetapi, bukan komik sejenis Detective Conan atau Doraemon, melainkan komik-komik serial cantik alias romance.
Selain itu, Dika juga tahu banget kalau Cherry bandar drama Korea. Dia sering ke sekolah membawa flashdisk, bahkan harddisk, titipan teman-temannya yang sudah dia isi dengan drama-drama Korea menye. Dika juga tidak mengerti, sejak kapan dia jadi suka memperhatikan Cherry. Dan, ketika Dika menemukan Cherry yang sedang duduk bersila di lantai sambil senyum-senyum dengan komik di tangannya, tanpa sadar, Dika ikut tersenyum. Cherry hari itu tampil kasual dengan baju rajut lengan panjang dan celana jins panjang. Rambutnya yang diikat asal menambah kesan kasual pada tampilannya.