Sabri bangun tepat ketika kokok pertama ayam jago berbunyi. Ia tidak pernah tahu siapa penghuni komplek perumahan yang masih memelihara ayam, tetapi suara kokok itu rutin terdengar di seantero kompleks, yang kemudian suaranya disusul dengan sahutan adzan dari musholla perumahan. Setidaknya, karena sahut- menyahut suara yang cukup nyaring tersebut, ia jadi tidak perlu mengatur dering alarm lagi.
Ketika bersiap mandi, Sabri baru ingat kalau ia langsung jatuh tertidur pada malam yang lebih awal dari biasanya sehingga kemarin ia belum bertemu Papa sejak pagi. Dan ketika berpikir ulang tentang apa yang membuatnya sampai tidur lebih cepat seperti itu, akhirnya ia ingat kalau kemarin dirinya baru saja bekerja rodi membersihkan rumah sebelah. Ia masih ingat betul betapa pegal menyerang tubuhnya tadi malam, tetapi anehnya, pagi ini ia sama sekali tidak merasakan pegal ataupun nyeri. Semua terasa kembali seperti semula, seakan- akan akhir pekannya kemarin sangat menyenangkan.
Hari ini Senin. Waktu dimana kesibukan dimulai. Anak SD memakai seragam putih merah, anak SMP dengan putih dongker, sementara anak SMA selalu dengan putih abu-abu, yang sebenarnya kurang pas untuk disebut ‘benar- benar’ abu- abu. Sabri sudah siap dengan seragam nasional SMA nya, dan ia bergegas pergi ke dapur untuk sarapan. Sepagi ini, ia belum melihat Mama atau Papa, dan begitu sampai ke tempat yang ditujunya, gadis itu tersenyum lega menemukan keduanya disana. Mama masih sibuk di pantry, sementara Papa sudah menempati meja makan sambil duduk tenang menyeruput kopi hitam, sementara tangan kiri menahan ujung koran harian yang sedang dibacanya. Kedua orang itu sama sekali tidak menyadari kehadiran anak mereka sampai Sabri menggeser kursi, menimbulkan suara deritan yang cukup menarik perhatian.
Papa akhirnya menoleh, ia meletakkan koran kemudian menatap anaknya, tersenyum.
“ Selamat pagi, Sabri!” Papa duluan menyapa. “ Semalam tidur cepat amat, nggak nungguin Papa,”
Sabri balas tersenyum, kemudian membuat wajahnya seolah- olah menderita sebelum meluruskan pernyataan Papa.
“ Sabri pegal linu, Pa. Habis kerja rodi. Papa kerja mulu, nggak bantuin Sabri sih,” setelah itu Papa tertawa. Mama yang telah menyelesaikan masakannya bergabung ke meja makan, duduk di antara suami dan anaknya. Membicarakan kerja rodi kemarin membuat Sabri teringat lagi dengan calon tetangganya, dan ia seperti tercerahkan setelah menarik kesimpulan bahwa mereka akan datang hari ini.
“ Baru kerja segitu udah pegal- pegal. Mau dipanggilin tukang urut?” tawar Mama. Tangannya sigap menyiapkan nasi di atas tiga piring, juga menuangkan lauk. Sabri menggeleng, lagipula pegal- pegal itu sudah lenyap dan ia hanya bercanda, biar Mama tidak menyuruhnya ikut melakukan pembersihan lagi di lain waktu.
“ Yang nyewa rumah datang hari ini, Pa?” tanya Sabri, ia tidak bisa berbohong untuk menutupi rasa penasarannya terhadap calon tetangganya, sehingga pertanyaan itu keluar begitu saja.
“ Iya. Mungkin bakal sampai jam 9 nanti. Mereka keluarga kayak kita juga, datang jauh- jauh dari Makassar,” Papa menjelaskan setelah menyeruput kopinya yang entah seruput keberapa kali. Sabri sempat terkesan menyadari betapa jauh tetangga baru tersebut berasal dan membayangkan perjalanan mereka ke kota ini pasti menguras banyak tenaga.
“Pasti orang sibuk ya, Pa?”
Papa mengangguk. “Iya, suaminya PNS. Jadi sering mutasi,”
Sabri memulai rutinitas berangkat sekolahnya setelah sarapan selesai. Jarak rumah dan sekolahnya hanya beberapa kilo meter, dan bisa ditempuh dengan busway yang biasa lewat di depan gerbang masuk perumahan. Ia tidak pernah diperbolehkan naik motor sendiri, meskipun kendaraan itu tersedia dan selalu hadir di garasi rumah. Menurut Mama, sekali memperbolehkan anak naik sepeda motor sendiri, selanjutnya ia akan pergi kemanapun tanpa merasa perlu minta izin lagi.
Ketika dirinya benar- benar keluar dari gerbang rumahnya yang di cat hitam, ia tiba- tiba merasa perlu melongokkan kepala dari luar gerbang untuk melihat keadaan calon rumah si tetangga baru, meskipun ia tahu mereka baru akan datang pada pukul sembilan nanti. Gadis itu menghela napas pasrah setelah memastikan bahwa rumah itu benar- benar masih kosong. Lalu pikirannya berdebat sendiri, memutuskan apakah penghuni rumah itu berkeluarga atau bukan. Karena tidak juga menemukan jawaban, ia akhirnya membawa pikiran tersebut bersama perjalanannya menuju sekolah.
***
“Hai, Bri!!”
Itu suara Laras, yang langsung membuka mulut menyapanya begitu dilihatnya sosok Sabri masuk kelas. Anak itu memang begitu, ketika tepat datang sebelum Sabri saja. Menyapa dengan wajah cerah seolah-olah hari itu miliknya. Dia teman sebangku Sabri sekaligus sobat karib sejak kelas 1 SMA, dan pertemanan mereka sudah dimulai bahkan di tengah-tengah pelaksanaan MOS beberapa tahun lalu. Sabri tidak punya teman dekat lain selain Laras-meskipun beberapa tahun lalu masih ada-selain itu, ia juga bukan anak beken yang bisa akrab dengan siapapun. Karena itulah ia sangat berterimakasih atas kehadiran Laras selama hampir 3 tahun ini walau kadang mereka juga sering bertengkar karena hal-hal kecil.
“Oy, Laras! Hari ini nggak ada PR kan?” entah mengapa justru pertanyaan itulah yang keluar dari mulut Sabri meskipun ia tahu persis jawabannya. Guru di kelasnya sudah berjanji untuk tidak memberi PR mata pelajaran apapun di akhir pekan, sehingga hari Minggu benar- benar hari kebebasan bagi mereka.
“As you know lah,”
Sabri duduk di sebelah Laras, menyandarkan tas di punggung kursi. Ini tahun terakhir Sabri dan teman- temannya di SMA. Kelas tiga baru saja dimulai seminggu lalu, sementara kini kegiatan belajar dan mengajar sudah berlangsung normal, dan akan kian padat dengan berbagai bimbel persiapan Ujian Nasional sebentar lagi. Itu artinya, sudah hampir tiga tahun Sabri duduk di sekolah itu, dan anehnya ia maupun Laras selalu menempati kelas unggulan bersama anak- anak unggul lainnya. Sabri tidak tahu kenapa dirinya bisa duduk di kelas itu selama hampir tiga tahun- dan tidak pernah turun ke kelas B atau C- padahal otaknya payah sekali jika disuruh berhadapan dengan tabel periodik unsur. Laras tidak ada bedanya. Cewek itu selalu membawa PR Kimianya ke kelas lalu menyalin hasil pekerjaan Sabri yang entah benar atau salah.
“Kemarin kemana aja?” tanya Laras. Kemarin ia lupa menghubungi Sabri via chat saking sibuknya marathon drama, walaupun pada akhirnya drama yang ia tonton belum tamat sepenuhnya.
Sabri menghela napas. Boro- boro kemana, dirinya malah terkurung di dalam rumah berdebu.
“Nggak ada. Gue berbakti kepada ortu. Jadi gue bantu nyokap gue bersih- bersih rumah sampai gue K.O,” jawabnya malas. Laras tertawa menanggapi cerita Sabri. “Gue mau kedatangan tetangga baru, Ras,”