Melting The Dementor Softly

Auna Putri
Chapter #4

3. Gilang Daortama

Sarapan berlangsung seperti biasa. Ada Mama yang selalu bergabung terakhiran di meja makan, Papa yang tidak pernah absen memegang koran terbitan paling baru di tangan kirinya sambil menyeruput kopi, juga Sabri yang pasti bergabung setelah benar- benar siap berangkat sekolah. Bedanya, hari ini Mama malas masak sehingga cuma sanggup menyediakan semangkuk corn flakes bersama susu, membuat Papa uring- uringan menyentuhnya sehingga memutuskan memilih sarapan hanya dengan kopi. Sabri sebenarnya sudah malas begitu tahu hanya makanan itu yang tersedia di atas meja, tapi tetap makan daripada nanti kelaparan di tengah pelajaran.

“Gimana tetangga baru semalam?” tanya Papa tanpa mengalihkan perhatian dari koran. Helaan napas Mama terdengar, tanda kalau pikiran yang akan segera diungkapkannya bukan sesuatu yang bagus. Sabri memandang ibunya, ingin ikut- ikutan menghela napas berat, namun yang ia rasakan tentang semalam malah jauh lebih buruk.

“Kenapa?” Kali ini Papa meletakkan korannya. Sabri malas menjawab, tetap melanjutkan acara kunyah- mengunyahnya dengan tekun.

“ Tadi malam kita antar makanan aja sih. Suaminya udah pergi lagi,” Mama akhirnya menjawab.

“Oh ya? Suaminya lebih sibuk dari Papa ya,” kata Papa, beberapa detik kemudian ia tersenyum. Senyum yang aneh, juga sedikit licik. Pasalnya, Papa tersenyum hanya dengan salah satu ujung bibirnya saja.

 “Anaknya kan ganteng, ya?”

Pertanyaan Papa sontak mengubah suasana ruang makan keluarga tersebut menjadi aneh. Mama kembali menghela napas berat sementara Sabri mulai terbatuk- batuk kecil, membuat Papa tertawa sendirian menyaksikan itu.

“Ganteng emang. Istrinya aja cantik gitu. Papa jangan naksir loh,” ujar Mama sewot. Papa mendelik ke arah Mama, pura- pura tersinggung.

“ Nggaklah. Mama harusnya yang jangan naksir sama anaknya.”

“Idiih!” celetukan itu keluar dari mulut Mama maupun Sabri hampir bersamaan. Mulut kedua perempuan itu mencebik.

“Asal Papa tau, Sabri pun kayaknya gak bakal bisa naksir orang begitu!” tukas Mama. Sabri hanya tersenyum sambil menyetujui dalam hati. Kemudian mengangguk- anggukkan kepala ketika membayangkan lagi tentang bagaimana sombong sikap anak tetangga barunya tadi malam. Bukannya bersikap lebih sopan untuk menampilkan kesan pertama yang baik, anak itu malah terang- terangan menghancurkan kesan dirinya sendiri.

“Anaknya nggak ada sopan santunnya sama sekali, Pa. Senyum sedikit aja nggak, malah ngacangin Sabri yang jelas- jelas berdiri di samping Mama. Bukannya disalamin malah ngacir.” Mulut Mama bergerak lancar membicarakan apa yang terjadi tadi malam. Seakan belum cukup, ia menambahkan lagi,

“Ibunya malah hampir nangis depan kita. Kacau deh punya anak kayak gitu. Pasti susah.”

Papa malah tertawa geli menyaksikan istrinya yang sepertinya lebih pandai bergosip daripada menyelesaikan sarapannya.

“Hei, jangan bilang gitu. Nggak suka jangan berlebihan. Karena yang benci bisa jadi cinta.” Papa sok bijak menasihati walau maksud ucapannya barusan tidak benar- benar serius. Mama dan Sabri kembali menatap sinis. “ Papa pikir mungkin karena dia belum kenal aja jadi begitu. Keluarga mereka sering pindah- pindah tempat tinggal. Mungkin jadi berpengaruh ke anaknya,”

Beberapa saat setelah kalimat terakhir Papa, bel berdering dua kali. Ketiga orang di ruang makan itu menoleh ke arah pintu utama yang letaknya beberapa meter di hadapan mereka. Siapa pula yang datang sepagi ini? Rumah itu hampir tidak pernah dikunjungi tamu kecuali ketika hari lebaran tiba. Mama akhirnya memutuskan beranjak dari kursi makan, kemudian berjalan ke arah pintu utama. Tangannya bergerak membuka pintu, setelah itu barulah kedua matanya bisa menangkap siapa yang menekan belnya sepagi ini.

“ Oh, Bu Nadia!” Suara Mama terdengar dari dapur, membuat seisi rumah yang lain jadi tahu siapa tamu yang baru saja datang. Mama keluar untuk membuka gerbang, kemudian tiba- tiba meninggikan suara memanggil Sabri.

Sabri saat itu sudah menyelesaikan sarapannya, sehingga ia langsung beranjak ketika namanya dipanggil tanpa memikirkan apapun lagi. Namun ketika langkahnya tepat sampai di mulut pintu, ia hampir tidak sanggup melanjutkan napas begitu tahu siapa yang berdiri di halaman rumahnya.

Butuh waktu bagi Sabri untuk kembali menarik napas setelah matanya terbiasa dengan pemandangan di hadapannya: Bu Nadia yang berdiri di hadapan Mama, serta satu orang lagi. Orang yang semangat sekali dibicarakan Mama sepagi ini.

Orang itu berdiri di sana dengan santai, memakai seragam SMA putih abu- abu yang entah didapat dari mana sambil memasukkan kedua tangan ke dalam saku celana. Itu persis sikap tokoh drama yang dingin dan sok ganteng. Ia menggendong tas ransel hitam di punggung, yang entah mau ditepis beberapa kali, tetap saja ransel itu terlihat keren ketika ia pakai. Penampilannya pagi ini terlihat kontras dengan penampilannya semalam, lebih rapi dan teratur. Yang tidak berubah adalah wajah tanpa ekspresi miliknya, yang sepertinya sudah mendarah daging sejak zaman bahula. Sabri kemudian menyadari, melihat wajah datar itu lama- lama membuatnya sakit perut muak. 

 Dan ia semakin bertambah muak melihat sikap acuhnya yang berkelanjutan, dan tampaknya sudah abadi, padahal Sabri menunggu- nunggu anak itu memperbaiki kesalahannya semalam.

Atau anak itu bahkan sama sekali tidak merasa bersalah?

Sabri ingin mendengus saat itu juga, tapi demi Bu Nadia yang selalu sopan dan santun, ia tahan sekuat tenaga. Anak itu memberikan kesan yang lebih buruk lagi dengan mata yang menatap ke arah lain secara acak, seolah- olah tidak senang berada di situ. Ketika akhirnya Sabri benar- benar berhasil menguasai diri untuk tidak mengamuk, ia melanjutkan langkahnya lalu berdiri tepat di samping Mama, dan beberapa langkah di hadapan anak itu. Kemudian sebelum sempat menarik napas baru, ternyata mata acuh anak itu malah mengarah hanya kepada Sabri seorang.

Anehnya, tatapan itu malah membuat Sabri terintimidasi sehingga mau tidak mau ia jadi membuang pandangan dan memilih untuk menunduk saja.

Sabri pikir mata anak itu bahkan lebih berbahaya daripada anak panah suku indian. Tajam dan menusuk.

“Sabri sudah siap sekolah juga ternyata?” tanya Bu Nadia berbasa basi. Sabri hanya tersenyum dan mengangguk, pandangannya mengarah kepada wanita itu tanpa berani memeriksa apakah anak di hadapannya masih menatapnya atau tidak.

Lihat selengkapnya