Tinggal sepuluh menit sebelum bel masuk kelas berdering. Halaman sekolah masih ramai entah oleh murid yang berebut memarkirkan kendaraan masing-masing, staf sekolah, maupun guru yang dikerumuni murid memberi salam. Sabri berjalan santai menyusuri arah menuju kelasnya sambil berdoa dalam hati, semoga tidak ada satupun orang yang melihatnya bersama Gilang di seberang sekolah.
Dan sepertinya memang tidak, karena sepanjang langkahnya saat ini, orang lain tidak ada yang menghiraukannya sama sekali, atau mencoba bertanya dengan wajah ingin tahu lalu pura-pura basa-basi menanyakan kabar. Bahkan Laras pun belum terlihat mata Sabri. Cewek itu akhirnya bisa mengembuskan napas lega, setidaknya biar ia sendiri yang menceritakan kabar itu pada Laras, sehingga kabarnya benar-benar utuh tanpa bumbu.
Ketika Sabri sedang melanjutkan langkah, tiba-tiba sebuah motor bebek melaju perlahan dari arah gerbang, kemudian berhenti tepat di depan Sabri. Cewek itu terlonjak, ia pikir motor itu hampir menabrak tubuhnya, namun posisi motor itu bahkan masih berada beberapa meter dari tempatnya berdiri. Benaknya bertanya-tanya siapakah pengendara motor yang kepalanya kini tersembunyi di balik helm oranye itu? Sabri pikir dirinya cukup jarang berurusan dengan orang lain--kecuali Laras-- sampai tiba-tiba didatangi motor seperti ini. Maka akhirnya ia diam saja menunggu si pengendara melepaskan helmnya sendiri.
Butuh waktu tidak sampai semenit untuk melepaskan helm, namun ketika helm itu benar- benar terbuka, kedua mata Sabri mendadak merasa tidak yakin dengan penglihatannya sendiri.
“Selamat pagi, Sabrina!”
Suara itu.
Tentu saja Sabri tidak pernah membuang suara itu dari ingatannya, karena saat itu, mau bagaimanapun lagi dijelaskan, lebih tepatnya ia tidak pernah bisa benar-benar melupakannya.
Bagaimana tidak, pada masanya beberapa tahun lalu, pemilik suara itu pernah menempati kertas istimewa di catatan harian Sabri, selalu ditulis dengan senyum sumringah yang berujung disimpan serapi mungkin, sampai saat ini. Kemudian mendengarkan suaranya lagi setelah waktu yang lama, entah apakah ketika ditulis kembali nanti rasanya masih tetap sama seperti dulu atau mungkin sudah berubah.
Dia Andika Prasetiya, satu-satunya orang yang pernah ia tulis di atas kertas istimewa berwarna merah jambu dalam catatan harian miliknya, setidaknya selama tiga tahun terakhir pada masa SMA.
Dan di waktu yang sama sekali tak pernah dimimpikannya, cowok itu dengan santai duduk di atas jok motor bebeknya sambil menahan beban dengan kaki kanan, sementara pinggangnya menoleh menghadap Sabri, hanya untuk membuat cewek itu tertegun.
Sebenarnya Sabri bukan tipe orang yang sering berhadapan dengan lawan jenis dalam urusan cinta. Meskipun orang tua sering bilang bahwa SMA merupakan masa-masa mencari jati diri serta cinta sejati, nyatanya Sabri tidak pernah benar-benar mengalaminya. Lalu siapakah Andika Prasetiya? dia hanyalah cowok di angkatan yang sama dengan Sabri, lalu masuk ke dalam bagian cerita Sabri sendiri. Jadi itu tidak bisa dianggap sama seperti masa-masa indah SMA yang sering diceritakan orang tua, atau semacam cerita Laras yang dua tahun terakhir sudah tiga kali ganti pacar dan enam kali mengagumi orang diam-diam.
Semuanya dimulai sekitar dua tahun yang lalu, pada masa orientasi siswa.
Ia murid baru saat itu, sekaligus peserta MOS di tengah plonco senior yang galak. Karena pendiam dan bukan orang yang gampang bergaul, ia masih belum kenal siapapun di hari kedua, serta tidak ada satupun peserta lain yang mengenalnya. Kemudian di siang hari ketika matahari benar-benar bertengger di atas kepala, entah karena sebab apa Sabri termasuk dalam jajaran peserta yang dihukum berlari mengelilingi lapangan olahraga. Itu kesialan pertama bagi Sabri di sepanjang hari MOSnya, berikutnya ia malah terjatuh di putaran kedua. Permukaan lapangan yang hanya dilapisi semen terasa begitu panas, dan itu melukai lututnya sampai celana training yang dipakainya hari itu berlubang. Sabri mencoba kembali berdiri untuk melanjutkan putaran di tengah teriakan salah seorang senior, namun tidak berhasil. Lututnya teramat perih sampai merasuki persendian, lalu kepalanya mendadak pening. Entah kenapa, di antara banyak peserta MOS lain yang tidak peduli tetap lanjut berlarian meski tahu keadaannya, Tuhan malah mengirimkan laki-laki itu untuk menolongnya.
Meskipun salah seorang senior meneriakinya sewot, berseru untuk tetap berlari, laki-laki itu malah berdiri di hadapan Sabri sambil mengulurkan tangan. Ia datang bagai dikirim dari langit, terlihat begitu bersinar di bawah terik matahari.
Kemudian ketika Sabri mendangak untuk mencari tahu siapa pemilik tangan itu, saat itulah ia tahu, meskipun matahari saat ini bersinar terik membakar kulit, senyum laki-laki itu mengubah suasana menjadi hangat. Dan saat itulah jantung Sabri pertama kali berdebar aneh untuk laki-laki itu.
Jantung memang berdebar setiap detik, namun ada saatnya debaran itu berbeda, menciptakan arti khusus di berbagai macam peristiwa. Debaran ini untuk peristiwa ini, maupun debaran itu untuk peristiwa itu. Hari itu meskipun Sabri sial dua kali, namun hatinya bersyukur karena saat itu pula ia merasakan debaran paling menyenangkan yang pernah ada.
“Lo bisa berdiri, kan?” tanya cowok itu sambil masih mengulurkan tangan, sementara wajahnya menunjukkan kekhawatiran.