Laras ternyata datang hampir terlambat. Setelah seisi kelasnya mulai berbicara tentang kabar keberadaan anak baru yang entah bersumber dari mana, anak itu baru masuk kelas dengan tergopoh-gopoh kemudian duduk di sebelah Sabri yang sama sekali tidak ikut nimbrung anak-anak lain yang sedang membicarakan gosip itu.
Kelas unggulan itu saat ini heboh. Mereka terkejut oleh kabar yang baru saja disampaikan salah seorang murid yang notabene mendapatkannya dari kelas sebelah. Karena mayoritas murid yang lebih gila belajar, penghuni kelas itu bahkan baru tahu kalau kelas mereka akan ketambahan murid baru dari luar pulau, sementara kelas lain malah sudah mendengarnya sejak tiga hari yang lalu. Dan obrolan itu semakin bertambah heboh ketika seorang anak lain menimpali bahwa pagi ini juga temannya dari kelas sebelah melihat Bu Anastasia menggandeng anak yang dianggap sedang mereka bicarakan saat ini.
“Bri, kelas kita bakal kedatangan murid baru tau,” seloroh Laras begitu cewek itu menggulung layar ponselnya. Napasnya masih tersengal akibat berjalan terburu-buru.
Sabri mengedikkan bahu. Ia sudah tahu, tentu saja. Dan niatnya untuk menceritakan hal tersebut kepada Laras lebih awal gagal sudah.
“Liat ni, grup chat kelas dari tadi heboh. Tadi pas dibonceng bokap, heran banget hp ini rame dari biasanya.” Setelah itu Laras berdiri dan mulai bergabung dengan murid lain yang bergerombol membicarakan kabar si Anak Baru. Sabri menghela napas pasrah, ia bahkan sudah tidak punya lagi kesempatan untuk menceritakan hal yang sebenarnya kepada Laras. Padahal kalau Laras mau tau, sebenarnya Sabri merupakan informan paling unggul dalam gosip tersebut.
Murid-murid masih belum puas membicarakan si Anak Baru, tapi sayang sekali obrolan itu harus ditutup karena Bu Anastasia datang sambil menggedor-gedor pintu dengan tongkat yang baru kali ini dibawanya. Penghuni kelasnya langsung diam, seakan-akan tongkat tersebut mampu menusuk mulut yang masih mengoceh. Selanjutnya Bu Anastasia masuk kelas dan berdiri di hadapan murid-muridnya, sementara terdapat orang lain yang menyusul di belakang wanita itu.
Dan orang itu merupakan si Anak Baru yang dari tadi mereka gosipkan sepagian ini.
Dan masalahnya, ternyata si Anak Baru itu punya pengaruh yang tidak sedikit bagi seluruh penghuni kelas.
Anak perempuan menahan napas, sementara anak laki- laki menggigit bibir. Bahkan ada seorang murid perempuan yang menarik napas terlalu keras sehingga menimbulkan suara yang mirip decitan meja.
“Gila! Mirip Babang Ucup gak sih? Eh beneran ini anak manekin ato manusia ya.” Laras berbisik sambil menyikut lengan Sabri. Reaksinya tidak berbeda dengan murid lain, termasuk Sabri, yang bahkan sudah pernah melihat anak yang berdiri di hadapan mereka sebelumnya.
Anak itu memang sudah terlihat tampan ketika pertama kali Sabri temui, tapi baru kali ini ia bisa melihatnya dengan bebas tanpa khawatir kepergok orang lain, dan ia menggunakan kesempatan itu untuk menelusuri sosok anak tersebut dari ujung rambut sampai kaki, kemudian saat itu juga ia masuk kembali dalam pesonanya, bersama teman-temannya yang lain.
Untuk sejenak, Sabri jadi bisa menikmati keindahaan anak itu sambil melupakan kekesalannya atas sikap penistaan yang sudah ia terima .
Laras hampir benar kalau mengatakan anak baru itu mirip artis Korea yang entah siapa, karena anak itu punya kulit putih tanpa cela serta wajah oriental dengan mata yang tidak terlalu sipit. Satu lagi, anak itu punya rahang tegas yang membuatnya terlihat berkelas, juga tinggi badan yang ideal untuk ukuran pria. Tetapi yang luput dari perhatian mereka adalah, pandangan mata anak itu kosong, juga terlihat acuh. Mereka terlalu tercebur pesona visualnya untuk menyadari hal itu, namun Sabri menangkapnya setelah beberapa saat terbius.
“Bri, lo pikir dia mirip siapa? Ahn Hyo Seop kan? Atau siapa ya?” Laras masih sibuk dengan hapalan aktor Koreanya, sementara Sabri menghela napas oleh pikirannya sendiri. Ia memang benci sikap anak--yang sedang teman-temannya kagumi--itu sejak pertemuannya tadi malam sampai sekarang, tapi membayangkannya akan segera menunjukkan sikap dinginnya yang keterlaluan di hadapan murid lain membuat kebencian Sabri jadi lebih toleran.
Sabri jadi berpikir kalau akan lebih baik jika teman-temannya tidak memandang anak itu sebagaimana pandangan Sabri.
“Oke, jadi kelas kita ketambahan murid baru. Asalnya dari Makassar, dan kenapa dia bisa bergabung di kelas A ini? Kalian seharusnya sudah tahu jawabannya.” Bu Anastasia memperbaiki suasana kelas yang tadi senyap, kemudian tersenyum akrab kepada murid lelaki di sampingnya. Anak itu tidak berkata apa-apa, tentu saja. Setelah pertemuan dengan orang tuanya tiga hari yang lalu, Bu Anastasia jadi tahu dan memaklumi masalah yang terdapat dalam diri anak itu, meskipun tidak pernah menghadapinya secara langsung. Jadi ia memutuskan untuk tidak memintanya memperkenalkan dirinya sendiri di hadapan murid lain.
“Namanya Gilang Daortama, pindahan dari Makassar. Untuk sementara, alamat rumah Gilang Ibu rahasiakan yaa.” Bu Anastasia tersenyum jahil ketika murid-muridnya ber-“huuuu..” serempak. “Gilang, silahkan duduk di bangku paling belakang. Kalau nggak mundur, bulan depan ada perombakan bangku kok.”
Gilang berjalan ke arah bangku yang dimaksud tanpa bersuara, diikuti pandangan murid lain yang masih bertahan untuk terus terperdaya. Ia melewati bangku satu-satunya orang yang ia kenal di kelas itu, dan untuk sedetik melirikkan mata kepadanya. Bangku yang ia tempati merupakan bangku paling belakang di pojok kiri kelas dan dekat dengan jendela yang menghadap ke halaman sekolah, untungnya sosok--yang apatis di mata Sabri--itu duduk sendirian.
Sabri bersyukur, setidaknya sampai saat itu, teman-temannya masih belum tahu kalau Gilang punya sifat yang agak lain dari mayoritas orang.
Tetapi sayangnya hal itu tidak bertahan lama. Karena, ketika bel istirahat berdering, kabar kedatangan murid baru dengan visual luar biasa yang sudah terlanjur merebak ke seantero angkatan Sabri membuat murid-murid dari kelas sebelah berdatangan ke kelasnya hanya untuk sekedar mengecek, dan bahkan ada yang nekat mengerumuni anak baru tersebut. Mereka membuat kelas jadi berisik, dan suara mereka sudah mirip dengung gerombolan tawon. Pertanyaan ini-itu bercampur kalimat ajakan perkenalan bersahut-sahutan, terutama dari kalangan cewek. Yang cowok hanya berani mengintip dari jendela atau dari bangku mereka masing- masing. Dan tentu saja, semua kebisingan itu hanya dibalas tanpa suara.
Anak itu bahkan tidak menunjukkan kepedulian sama sekali, sempurna mengabaikan mereka dengan kepala tertunduk karena sibuk membaca buku.