“Heh, lo harus tanggung jawab karena ramalan gue bener!” Selorohan Laras menyambut Sabri ketika dirinya baru saja mendaratkan tubuh di atas kursi dan belum sempat menarik napas baru.
“Gue baru sadar tentang ini, Bri. Kalo lo beneran punya tetangga cowok yang sama-sama kelas tiga SMA, udah gitu ganteng.”
Ujung bibir Sabri terangkat sebelah, kemudian matanya melotot. Suara Laras barusan lumayan kencang untuk membicarakan hal serahasia ini.
“Ups....” Laras hanya menyengir. Kemudian melanjutkan topik yang sangat ingin diobrolkannya dengan suara lebih lirih.
“Siapa sangka, kan, doa gue mustajab?” Ia lalu tertawa sendirian, sementara perhatian Sabri sudah teralih ke depan kelas.
Gilang baru saja melewati pintu, kemudian melangkah ke bangkunya di bagian paling belakang.
Ternyata perhatian Laras juga sudah tersedot pemandangan itu, juga perhatian orang-orang lain yang saat itu sudah sampai di kelas lebih dulu.
Sabri mencubit tangannya sendiri untuk segera sadar. Gilang masih sama menakjubkannya seperti ketika pertama kali ia terlihat, meskipun sekarang murid-murid seangkatan sudah melabelinya ‘anti sosial’.
Namun yang sekarang Sabri pikirkan adalah, anak itu benar-benar melakukan apa yang ia suruh. Masuk kelas sepuluh menit setelah Sabri. Pagi ini mereka berangkat bersama lagi. Setelah kemarin menangis di hadapan cowok itu, Sabri sebenarnya jadi malu untuk berhadapan lagi dengan Gilang. Namun anak itu malah datang duluan ke rumahnya, dan sempat menunggu Sabri–yang masih sarapan–di ruang tamu. Jadi tidak ada pilihan lain kecuali melakukan hal yang sama seperti kemarin, berangkat sekolah bersama. Dan ia tidak perlu lagi memberitahukan Gilang untuk tidak memasuki gerbang sekolah secara bersamaan, karena cowok itu langsung duduk di depan warung Mang Ana setelah turun dari bus.
Toh, kejadian kemarin bahkan tidak akan pernah dipedulikan cowok itu.
“Hari Minggu ke rumah dia, yuk!”
Ketika mendengarnya, Sabri tidak bisa menahan matanya untuk tidak melebar.
“Ayo dong, gue kan bilang kalo lo punya tetangga ganteng beneran bakalan nurut apa kata gue.”
Suara rengekan Laras yang mungkin bisa terdengar orang lain membuat Sabri mencubit lengan gadis itu.
“Itu nggak mungkin, Laras. Terus ntar nyampe sana mau ngapain?” Sabri menolak dengan tegas, berpikir kalau rencana Laras kali ini lebih konyol dari yang pernah ada.
“Mampir aja. Ngobrol sedikit, atau minum teh bareng,” jawab Laras dengan santai. Sabri menghela napas kemudian.
“Apa lo lupa kalo dia ansos? Lo pikir dia mau nerima kedatangan lo di pintu rumahnya, terus ngajak minum teh sambil duduk-duduk di ruang tamu?” Sabri hampir menceritakan semua kejadian yang menyangkut orang yang mereka bicarakan kepada Laras, namun ia pikir itu hanya akan memperburuk kesannya yang sudah buruk.
Dan ternyata Laras masih bersikukuh dengan gagasannya tadi sehingga Sabri menyerah menghindari permintaan Laras dan memutuskan untuk melanjutkan pembahasan ini kapan-kapan.
Bu Anastasia masuk kelas sepuluh menit kemudian, dilanjutkan dengan kedatangan Pak Hadi yang langsung membuat sebagian murid menghela napas berat. Pria itu merupakan guru kimia kelas dua belas, dan di hari pertama mereka belajar dengannya, ia malah mengumumkan di depan mereka semua kalau dirinya akan mengadakan tes kemampuan pagi ini. Soal tesnya hanya mengulang pelajaran kelas sebelas, namun aturannya sama seperti ujian lain. Dilarang melihat buku. Karena itulah, sebagian murid sudah tidak sungkan lagi berteriak keberatan, juga memenuhi kelas dengan sahut-sahutan yang berisik.