Melting The Dementor Softly

Auna Putri
Chapter #8

7. Buku Pelajaran

“Dia tiba- tiba ngangkat tangan, terus tanpa bilang apa-apa kayak casper, sudah maju ke depan.”

“Trus guru kamu gimana?”

“Wajah guruku udah nggak bisa diverifikasi lagi bentuknya. Terus si Gilang malah jelasin semua pelajaran kimia bab pertama.”

Mama menutup mulutnya dengan tangan, reaksi umum ketika dirinya sedang terkejut atau kagum. Sabri menceritakan semua yang terjadi di kelasnya kemarin pagi, pada saat jam pelarajan Pak Hadi. Tentang bagaimana gurunya yang sombong dan berencana mengadakan tes mendadak, juga bagaimana orang itu menelan kesombongannya sendiri setelah Gilang maju ke depan kelas, mengambil alih bagiannya mengajar. Cerita itu seperti legenda yang fenomenal, karena selain diceritakan Sabri di rumahnya sendiri, grup chat kelasnya juga terus membahas kejadian itu sejak kemarin sampai saat ini.

“Pelajaran kimia bab pertama punya kalian?”

Sabri mengangguk semangat. Kali ini, ia dan ibunya tidak lagi berbicara sesuatu yang buruk mengenai anak tetangganya seperti beberapa hari lalu, dan Sabri ingin tertawa menyadari betapa cepat semuanya berubah.

“Pak Hadi cuma bisa duduk di mejanya doang, Ma. Dan dia kayak begitu selama dua jam,”

 Tawa Sabri membahana. Sebenarnya, selain karena Gilang yang tiba-tiba maju untuk menjelaskan pelajaran, cerita tersebut juga jadi menarik untuk diingat karena wajah Pak Hadi yang sepertinya sudah keberatan menanggung malu. Merah padam, tapi juga tidak mampu berkutik.

“Anak Bu Nadia ternyata sejenius itu.” Mama berkata sambil membereskan meja makan usai sarapan. “Kalian gimana? Ada yang terjadi selama kalian berangkat–pulang sekolah?”

Sabri mengerjap mendengar pernyataan Mama yang terdengar serius. Ia tahu Mama hanya bertanya karena khawatir, tidak ada maksud terselubung dalam pertanyaan itu, namun tiba-tiba ia merasa perutnya tergelitik.

“Yah, baik-baik aja kok. Seperti biasa, dia cuma diam, tanpa suara, dan intinya dia nggak mengganggu,” jawab Sabri setelah mengedikkan bahu.

Papa terlambat sehingga baru bergabung di meja makan lima menit kemudian, sementara Sabri sudah memakai ranselnya dan beranjak keluar rumah. Kemarin Gilang sudah siap lebih dahulu daripada Sabri sampai menjemputnya ke rumah, namun anak itu pagi ini belum terlihat sama sekali, bahkan di balik gerbang rumahnya. 

Hanya terdapat Bu Nadia yang sibuk menyirami tanaman dari balik gerbang rumahnya, sehingga Sabri memutuskan untuk menyapa sekalian bertanya soal keberadaan Gilang.

“Selamat pagi, Tante.” Sabri menyapa dari balik gerbang dengan suara riang, membuat wanita yang dipanggilnya menoleh dan tersenyum, lalu menghentikan kegiatannya menyiram tanaman.

“Pagi juga, Sabri. Cari Gilang?”

Sabri mengangguk masih sambil tersenyum.

“Dia berangkat duluan, kayaknya sekarang dia sudah hapal jalan sendiri. Apa dia nggak kirim pesan ke kamu?”

Sabri mengangkat alis, kemudian teringat kalau dirinya sudah tidak membuka ponselnya lagi sejak mulai sarapan. Karena itu dia menggeleng, lalu berpamitan untuk melanjutkan perjalanannya ke sekolah. Untuk beberapa detik, hanya beberapa detik sesaat, ia merasa kecewa dengan kenyataan Gilang yang sudah berangkat duluan, namun segera ia tepis begitu sadar kalau dirinya sendiri tidak mengerti kenapa harus merasa begitu.

Padahal mereka baru berangkat sekolah bersama-sama selama dua hari, namun perjalanan Sabri sekarang entah kenapa terasa amat berbeda.

***

Lihat selengkapnya