Melting The Dementor Softly

Auna Putri
Chapter #9

8. Gilang tidak se-psiko itu

Tidak ada siapapun di rumah, kecuali Sabri. Mama dan Papa meninggalkannya pergi ke rumah Nenek di Jakarta Selatan karena sekarang hari Minggu, dan sudah lebih dari sebulan mereka tidak mengunjungi orang tuanya. Sabri sengaja menolak untuk ikut, karena sekarang waktunya berlibur dan nonton drama Korea. Selain itu, Laras juga bilang akan kemari sekalian mampir ke rumah Gilang di sebelah, yang ternyata berakhir gagal karena tiba-tiba anak itu punya kesibukan lain.

Lalu sekarang, ketika langit sudah gelap dan episode drama yang ditonton Sabri sudah berakhir, ia merasakan perutnya berbunyi, memanggil-manggil minta diisi.

Sabri mendecak ketika melihat meja makan yang kosong, juga kompor yang sama-sama sepi. Mama tadi berpesan untuk membeli makanan di penjual keliling, namun seharian ini Sabri tidak mendengar bunyi kentongan mereka sama sekali. Akhirnya, ia membuka kulkas dan meraih kotak susu, meminumnya sekali teguk sampai habis. Tapi sial, ia masih merasa ada yang kurang pada perutnya.

Ketika Sabri berpikir keras tentang bagaimana mengisi perutnya lagi, bel rumahnya tiba-tiba berdering. Dan ia menemukan wajah Bu Nadia yang tersenyum ketika membuka pintu.

Sabri kemudian membuka gerbang yang tadi dikunci.

“Tante."

“Hai, Sabri. Kamu sudah makan?”

Mendengar pertanyaan itu, perut Sabri seolah bisa membaca sinyal dan ia segera menggeleng.

“Bagus! Ayo makan di rumah Tante. Tante tau Mama dan Papa kamu lagi nggak ada di rumah, kan?”

Sabri tidak tahu apa yang membawanya mengangguk-angguk dengan ringan, kemudian mengikuti wanita itu masuk ke dalam rumahnya setelah mengunci gerbang rumahnya sendiri. Dan sebelum ia sepenuhnya sadar, kakinya sudah masuk ke dalam rumah Bu Nadia, juga rumah Gilang, yang terakhir kali ia kunjungi seminggu lalu.

Bu Nadia membawa Sabri masuk ke bagian dalam rumah, di ruang makan yang letaknya berdampingan dengan dapur. Tidak ada bingkai foto di sepanjang dinding rumah itu, yang entah kenapa terbersit di pikiran Sabri. Meja makan sudah penuh dengan piring dan berbagai hidangan, membuat perut Sabri bergemuruh meronta-ronta.

“Sabri duduk duluan gih. Jangan sungkan.” Bu Nadia menarik kursi, yang kemudian diduduki Sabri dengan kikuk. Ia lega karena ia sendirian di ruangan itu, setidaknya hanya bersama Bu Nadia yang sudah dikenalnya dengan baik, namun beberapa detik selanjutnya, seorang pria empat puluh tahunan muncul dari balik pintu kamar mandi.

Sabri melempar senyum kikuk, yang juga dibalas dengan senyum yang lebih ramah oleh pria itu. Ia kemudian menarik kursi, ikut duduk di sisi lain meja makan.

“Kamu pasti Sabrina, anaknya Pak Andre. Iya kan? Saya Rama, panggil aja Om Rama.” Pria itu berbicara dengan logat yang tidak Sabri kenal, dan selama beberapa detik selanjutnya, kedua mata Sabri sudah melebar. Lewat perkenalan itu ia jadi tahu kalau pria yang sama-sama duduk di meja makan tersebut merupakan suami Bu Nadia, juga ayah Gilang.

Ini pertama kalinya Sabri bertemu ayah Gilang, juga melihat wajahnya. Dan dari situ ia jadi menyimpulkan kalau wajah oriental milik Gilang diturunkan oleh ayahnya. Mata agak sipit dan kulit putih. Bu Nadia memang cantik dengan mata sayu berbulu lentik, dagu yang lancip dan kulit bening, tapi rasanya Gilang lebih mirip ayahnya. Kombinasi yang sempurna, lebih tepatnya begitu. Om Rama merupakan dokter di rumah sakit Jakarta Pusat, dan sepertinya hari ini ia sedang libur bekerja mengingat jadwalnya yang super padat sehingga Sabri sama sekali tidak pernah melihat batang hidungnya selama seminggu sejak kedatangan mereka di rumah ini.

“Sabrina, terimakasih loh, selama ini kamu sudah banyak membantu anak kami,” ucap Om Rama, menatap Sabri sambil tersenyum. 

Sabri balas tersenyum, dan tiba- tiba pipinya terasa panas menahan malu. Ia tidak pernah mengharapkan ucapan sebentuk ‘terimakasih’ atas segala yang ia lakukan terhadap orang semacam Gilang, dan begitu menerimanya secara tiba-tiba seperti ini, hati Sabri jadi menghangat. Dan untuk pertama kalinya ia merasa senang dengan semua yang sudah ia lakukan kepada Gilang.

Ketika nama itu terbersit, Sabri baru sadar kalau sejak dirinya menginjakkan kaki di rumah ini, matanya belum menangkap sosok itu sama sekali.

Bu Nadia ikut menarik kursi, kemudian duduk di sebelah Sabri.

“Sabri kalau hari Minggu gini ngapain?”

“Nggak ada, Tante. Aku biasanya nonton doang, kalau nggak keluar bareng teman.”

Lihat selengkapnya