Ketika aku melepaskan jemari lentik ini dari pemantik kamera itu, waktu berhenti sepersekian detik—cukup lama untuk membuatku percaya bahwa aku benar-benar sedang menangkap sesuatu. Sesuatu yang tak akan pernah kembali.
“Kamu geser dikit ih. Muka kamu separuh doang yang keliatan,” ujarku bersungut, mencondongkan tubuh ke depan. Angin laut menerpa wajahku, membawa serta rambut yang terus menampar pipi. Aku sibakkan dengan tangan, tapi percuma—ujungnya tetap menempel basah di kening. Rasa asin di bibir membuatku ingin mengeluh lagi, tapi aku menahannya.
Di depanku, pria itu berdiri agak canggung. Setelan jasnya terlalu rapi untuk tempat seperti ini, dan dasi kupu-kupu di lehernya sedikit miring, seolah sengaja ingin menantang ketidaksempurnaan. Senyumnya kikuk, tapi entah kenapa—justru itu yang membuatnya menarik.
“Woi, senyum dikit. Sama itu dasinya. Ya Tuhan!” Aku berjalan kecil ke arahnya, membenarkan dasinya yang melintang aneh. Jarinya sempat menahan tanganku, tapi aku pura-pura tidak sadar. Dasi itu akhirnya lurus, meski dadaku terasa sesak tanpa alasan yang jelas.
Langit siang di belakangnya tampak begitu biru, nyaris menyilaukan. Kapal bergoyang lembut, dan garis buih di permukaan laut berkilau di bawah matahari seperti serpihan kaca. Bau solar bercampur dengan asin laut, menusuk hidung, menempel di kulit. Aku menggenggam kamera lebih erat; jari-jariku mulai lengket oleh keringat, tapi aku tak melepaskannya.
“Udah dibilang, mending nyewa fotografer aja deh. Kamu jadi repot begini.”
Dia berkata begitu sambil menatapku—mata cokelatnya memantulkan langit yang sama, tapi ada sedikit rasa bersalah di sana.
Aku menatap balik, lalu mengomel. “Kamu pikir nyewa fotografer di kapal gini berapa? Belum tiket, belum makan—ya pokoknya banyak. Kamu mau keluar duit segitu?”
Dia tertawa kecil, helaan napasnya hampir tertelan angin. “Ya tapi kamu kesusahan kan? Terus kita kapan foto berduanya juga?”
“Enggak. Nih liat aja, aku jago kok. Udah kerjaanku juga.” Aku menyeringai, menunduk sedikit agar wajahnya sejajar dengan lensa. “Dan buat itu, kita bisa minta tolong nanti.”
Beberapa helaian rambutnya terangkat oleh angin, menari di udara seolah menolak gravitasi. Aku menahan napas. Sekilas, semuanya terasa terlalu pas: laut, langit, dan dia yang tersenyum setengah malu. Aku tahu momen seperti ini jarang datang dua kali.
Aku menekan tombol.
Klik.