Pukul setengah empat dini hari. Minggu pagi. Terlalu awal bagi para penghuni apartemen berkeliaran di area lobi. Hanya ada beberapa orang yang pulang setelah aktivitas kehidupan malam. Kondisi mereka sempoyongan dengan langkah kaki yang tidak sempurna seolah tak ada tulang kokoh yang menopang tubuh mereka. Sebagian dari mereka berpegangan erat pada dinding seolah sedang terguncang gempa. Tak jarang yang mengucap sumpah serapah kepada objek yang salah.
Dengan tubuh masih terbungkus pakaian tidur dan kimono, seorang wanita muda berjalan santai ke lantai dasar. Sebuah lokasi tempat mailbox apartemennya berada, di belakang lobi tepatnya. Aman! Tidak ada sosok yang patut dikhawatirkan saat ini. Hanya ada beberapa orang penjaga keamanan terlihat sedang berbincang.
Ia memandang sebuah kantong plastik hitam besar yang diletakkan diatas lemari besi. Pasti kotak suratnya sudah penuh. Tiara menarik bungkusan yang bertuliskan “unit 102” dengan sangat hati-hati. Barang itu tidak berat, hanya saja cukup besar ukurannya. Ia menyentuh jepitan rambut yang menggenggam erat rambutnya. Rambut yang berwarna cokelat dan bergelombang dirapikan di sela jemarinya. Tangan berkulit putihnya merogoh kantong baju kimono. Sebuah anak kunci berukuran sedang muncul dari balik genggamannya. Ia membuka memutar kunci dan membuka pintu kotak surat. Ups! Beberapa amplop jatuh ke lantai.
Surat dan kado dipungut masuk ke sebuah kantong plastik berwarna hitam. Sekejap kotak besi yang berukuran sedang itu telah kosong. Semua sudah berpindah ke plastik yang dibawa Tiara. Perlahan ia mengangkat bungkusan itu, berjalan menuju lokasi lift berada. Tangannya berusaha meraih tombol lift yang seharusnya ada di hadapannya. Plastik besar dalam pelukan itu menghalangi pandangan. Tiba-tiba jarinya menyentuh tangan seseorang tepat pada tombol lift.
“Maaf, ya,” ucap Tiara dengan lembut.
“Kok minta maaf? Lebih tepatnya ‘terima kasih’.” Sosok pria berkulit sawo matang itu tersenyum sangat menawan. Sederetan gigi yang rapi terpajang jelas di antara bibirnya.
TING!
Lampu lift menyala, seiring terbukanya pintu dihadapan mereka.
“Silakan! Mau dibantu angkat?” ucap pria itu saat pintu lift mulai terbuka. Tangannya kanannya mengarah ke kantong yang dibawa Tiara.
“Nggak Usah. Terima kasih,” jawab Tiara. Senyum tipis menghiasi parasnya yang tanpa riasan. Ia meraih bingkisan besarnya..
“Silakan, Mbak.” Tangan kiri cowok ganteng itu menahan pintu besi yang ada di dekatnya. Lengan yang kokoh melintang diantara tubuhnya dan pintu lift. Tiara menarik plastik dan segera masuk ke dalam lift.
Tiara segera menempelkan access card dan menekan tombol angka sepuluh. Pria itu pun melakukan hal serupa dan menekan angka tujuh belas. Wajah rupawan itu saat ini sedang menatap Tiara dengan seksama. Ia melemparkan senyum. Tanpa bersuara, Tiara tersenyum tipis.Ia memalingkan wajahnya, kali ini ia memandang pintu lift yang sudah mulai menutup.
Apalagi setelah ini? Dia mau pamer apalagi. Tunggu saja, setelah itu pasti akan ada sederetan rayuan picisan yang terlontar dari mulut pria ini, ucap Tiara dalam benaknya. Terlahir sebagai gadis muda yang cantik dan berprofesi sebagai model iklan membuatnya terbiasa dengan gelagat pria bermulut manis, banjir pujian dan rayuan.
“Plastik apa, Mbak? Sampah? Kok malah dibawa ke atas?” tanya pria itu membuka pembicaraan. Mata pria itu menatap ke arah kantong plastik hitam besar yang biasa digunakan untuk membuang sampah.
“Hmm … Bukan sampah. Ini barang pribadi,” ucap Tiara singkat, tanpa mengalihkan pandangannya.