Remaja laki-laki usia empat belas tahun merebahkan diri di sofa panjang depan televisi. Ia baru saja pulang sekolah. Pakaian seragam putih biru tampak sudah tidak rapi dikenakannya. Sekolah cukup banyak menyita tenaga dan pikiran Angga. Tiba-tiba Tiara keluar dari kamarnya dan berteriak memanggil nama adiknya.
“Angga!” Suara Tiara mengagetkan remaja itu. Angga terperanjat dari posisinya, nyaris terjatuh. Ia segera menatap kakaknya yang berteriak sangat lantang.
“Pak Edy Suwana sakit?” tanya Tiara. Angga terdiam dan kembali merebahkan tubuhnya yang tinggi diatas sofa.
Pasti Tiara sudah mendapat kabar dari teman-teman alumni SMP-nya, pikir Angga. Sekolah Angga saat itu adalah sekolah yang sama dengan Tiara dahulu. Kala itu Tiara masih kuliah tahun kedua.
“Angga, ayo temuin Pak Edy. Buruan!” Tiara menarik tangan Angga hingga ia bergeser dari posisi tidurnya.
“Apa sih, Ra? Pak Edy cuma sakit kepala aja. Mungkin Cuma flu, masuk angin, kecapaian.” Angga kembali membenarkan letak tubuhnya.
“Nggak, gue rasa. Pak Edy mau meninggal, Angga. Percaya sama gue. Ayo, kita ke rumah sakit!”
“Hush! Sembarangan aja kalau ngomong. Lagian gue nggak tahu rumah sakit mana, nggak tahu rumahnya di mana, nggak tahu nomor telepon nya,” ucap Angga kesal.
“Gue tahu ...,” potong Tiara sambil menunjuk ruang kosong di belakang sofa dengan matanya. Tiara meninggalkan Angga dan menghidupkan mesin mobilnya di garasi. Angga sontak terperanjat ketakutan dan berlari mengejar Tiara.
Hujan deras yang tiba-tiba turun mengiringi perjalanan mereka. Jalan raya yang basah menjadi pemandangan mereka. Mobil sedan berwarna putih keluaran tahun 2011 yang dikendarai Tiara tiba di sebuah rumah sakit berlokasi tak jauh dari sekolah. Tanpa ragu, Tiara mengarah ke ruangan ICU. Ruang tunggu dipenuhi dengan beberapa orang yang sedang membaca surat Yassin. Tiara mencari seseorang, tiba-tiba ia menemui seorang anak perempuan seusia Angga dan bertanya keberadaan ibunya.
Angga masih terdiam dan terperanga menatap apa yang dilakukan kakaknya. Tiara terlalu percaya diri untuk menyapa orang yang tidak ia kenal, pikir Angga. Takut malu, Angga memberi jarak antara dirinya dan Tiara.
Sesaat anak perempuan itu masuk ke ruangan ICU dan kembali bersama seorang Ibu. Wanita itu sibuk menghapus air mata yang mengalir di pipi dengan ujung jilbabnya. Ibu itu menatap mereka dengan penuh tanda tanya.
Diawali dengan percakapan perkenalan ringan, akhirnya kedua kakak beradik itu dipersilakan masuk bergantian kedalam ICU menengok pasien. Angga masih tak dapat berkata-kata. Seseorang tergeletak lemah di tempat tidur, tidak sadar, dengan segala alat di tubuhnya. Pak Edy!
Angga memegang tangan Pak Edy. Air matanya pun tak mampu ia tahan untuk tidak menetes. Ia tak menyangka yang terjadi begitu cepat. Teringat tadi siang Pak Edy masih mengajar di kelasnya dengan selentingan beberapa cerita lucu. Tak lama, beliau mulai mengeluhkan sakit kepala dan menghentikan kegiatan belajar. Tiara mengerti apa yang anak laki-laki itu rasakan saat ini. Ia masih belum paham, entah apa yang menuntun mereka hingga sampai di sini. Tak seorang pun di sekolah mengetahui kondisi Pak Edy yang ternyata kritis. Radang otak, penyakit yang selama ini diderita Pak Edy.
Suasana menjadi lebih kekeluargaan setelah Tiara menyelami kondisi dan perasaan istri Pak Edy saat itu. Sesaat Tiara tampak sedang memandang ruang hampa di hadapannya. Ia terdiam cukup lama. Akhirnya, mahasiswi tingkat dua itu mencoba menyampaikan sebuah pesan aneh kepada keluarga.
“Ibu, Bapak waktu ngajar dulu sering cerita betapa beliau sayang sekali dengan Ibu,” tutur Tiara. Wanita tengah baya tadi pun tersipu, wajahnya memerah, penuh bahagia.