Warna-warni koper bagasi penumpang yang silih berganti berputar di konveyor terus-menerus kami berempat pantau. Berharap salah satu dari koper kami segera keluar. Namun, setelah 20 menit lamanya kami menunggu, belum satu pun dari kami yang kopernya keluar di konveyor itu.
Dinginnya temperatur AC bandara ditambah kelelahan karena terlalu lama berdiri membuat perutku sakit. Aku kemudian teringat kalau sejak di Indonesia aku belum sama sekali buang air besar. Perih dan sakitnya semakin melilit hingga akhirnya aku memutuskan untuk mencari toilet. Ya, toilet pertamaku di negeri Paman Sam ini. “Diana, titip barangku ya. Aku mau cari toilet buat buang air besar dulu, sudah tidak tahan ini!” Aku segera mencari toilet terdekat.
“Excuse me, Sir, where is the toilet?” tanyaku kepada salah satu petugas bandara di sana. “Oh you mean restroom?” Petugas itu mengklarifikasi yang membuatku belajar kalau istilah “restroom” lebih sering dipakai di negara ini. “Yup, I mean restroom,” klarifikasiku. “Okay, you can go straight this way and then turn left.” Petugas itu menunjukkan jalan. “Alright, Sir, Thanks!” tutupku yang langsung berlari menuju ke sana. Toilet bandara yang sederhana akhirnya kutemukan yang terdiri dari beberapa bilik stainless steel kecil. “Akhirnya kumenemukanmu!” teriakku di dalam hati senang.
Sisa-sisa makanan yang telah aku makan sejak di Indonesia hingga di dalam pesawat akhirnya aku keluarkan di toilet di dalam bilik sederhana itu. Lega rasanya. Sembari juga aku memperhatikan desain bilik yang minimalis, bersih, dan dengan plafon toiletnya yang cukup unik. Seketika aku merasa ada yang aneh dari balik bilik sederhana ini. Terasa ada yang kurang dan sepi. Hanya ada 1 kotak tisu toilet di samping kiri. Detail demi detail pengamatan kulakukan hingga terasa sudah waktunya untuk bilas.
Aku mencoba melihat ke arah kanan belakang, namun, tidak terlihat jet washer seperti di toilet-toilet bandara di Indonesia. Pandangan kualihkan ke arah kiri belakang dan hasilnya tetap sama, tak ada satupun semprotan air di sana. Sempat aku berfikir bahwa kloset yang aku duduki mungkin menggunakan sistem bidet, lalu sambil duduk aku mencoba meraba dimana letak alat kontrol bidet itu, dan hasilnya lagi-lagi sama, kloset yang aku duduki hanyalah sebuah kloset polos dengan dilengkapi tombol flushing saja.
Seketika aku teringat dengan cerita dosenku di Surabaya bahwa toilet di Amerika tidak dilengkapi dengan semprotan air dan orang-orang di sana hanya menggunakan tisu sebagai media bilas mereka. Isu ini sebenarnya sudah aku antisipasi dengan membawa 1 lusin tisu basah dari Ternate. Masalahnya adalah 1 lusin tisu basah itu aku masukkan semuanya ke koper bagasi. Tidak ada satu pun yang sempat aku masukkan ke dalam ransel.