Liburanku di New York selebihnya diisi dengan mengunjungi beberapa tempat dan bangunan arsitektural seperti Central Park, Museum Guggenheim, Vessel, dan Empire State. Tidak lupa juga aku mengunjungi Jembatan Brooklyn atau yang disebut DUMBO yang memiliki kepanjangan Down Under the Manhattan Bridge Overpass. Salah satu tempat paling instagramable di New York.
Setelah itu Aku, Elizabeth, Diana, dan Kak Rahmi memutuskan balik ke Boston terlebih dahulu karena kampus kami memulai perkuliahan di semester berikutnya lebih awal. Kami sangat menikmati liburan di New York dan berharap suatu saat bisa kembali lagi untuk menjelajahi beberapa tempat menarik lainnya.
Setelah tiba di Boston aku akan bertemu dengan beberapa penghuni baru di apartemen karena penghuni sebelumnya sudah selesai masa kontrak. Aku tidak begitu dekat dengan penghuni sebelumnya dan kedatangan beberapa penghuni baru nanti terasa sangat istimewa karena wajahnya yang mirip dengan dua adik kandungku, Eko dan Dani.
Namanya sebut saja Robel dan John. Dua orang teman kuliah yang sudah tinggal bersama sejak mereka menempuh pendidikan sarjana di Boston University. Kali ini, mereka akan melanjutkan sekolah di Boston Medical Center. Aku juga telah diinfokan pemilik apartemen bahwa akan ada 2 orang yang baru pindah ke unit apartemenku besok pagi.
“Hei, man! You must be Fitrah, right?” Seorang pemuda african-american berambut keriting yang tingginya sama denganku menyapaku di pagi hari saat aku sedang bersantai di area depan apartemen. Dia datang dengan hanya membawa tas ransel dan satu koper hitam besar. “You met the right person, man! and you must be Robel? or John?” aku mencoba menebak karena detail yang pemilik apartemen berikan tidak terlalu jelas tentang kedua orang ini. “I am Robel. I think, John will arrive at around 11 AM with his parents.” Robel menjelaskan kalau temannya, John, akan datang bersama dengan keluarganya sebelum makan siang nanti. Aku mencoba membantu Robel mengangkat kopernya ke lantai 2 sambil memulai obrolan diantara kami.
Postur tubuhnya yang tidak terlalu tinggi dan berkulit hitam mengingatkanku akan adik kandung pertamaku, Dwiki Febrianto Teng, atau biasa dipanggil Eko. Kehadirannya 4 tahun setelah aku dilahirkan membuatku merasa memiliki teman di dalam rumah kontrakan kecil kami pada waktu itu. Aku tidak akan lupa kejadian dimana dia jatuh dari kursi saat berusia 2 tahun dan tengkorak kepalanya menjadi lunak yang membuat sekeluarga di rumah khawatir. Kejadian yang sampai sekarang membuat tengkorak kepalanya terasa aneh ketika dipegang.
Di tahun 2001, saat terjadi konflik besar antar agama di Ternate, aku masih ingat kala itu Eko kecil digendong Ibu berlarian sewaktu akan mengungsi. Di saat itu juga, keluarga kecil kami akhirnya bisa memiliki rumah permanen yang dibangun secara perlahan sampai saat ini.
Eko satu-satunya di keluarga kami yang memiliki perawakan mirip bapak yang juga berkulit agak gelap. Eko kecil adalah seorang Eko yang senang bermain dengan teman-temannya di luar rumah sehabis pulang sekolah. Bermain hingga lupa pulang ke rumah dan seringkali dicari oleh Ayah. Beranjak remaja, Eko menjadi pribadi yang masih mencari jati diri dengan beberapa kenakalan yang dia lakukan hingga membuat Ayah benar-benar kesal.