Suhu dan udara mulai menjadi sejuk, sama seperti di musim gugur. Salju kini sudah tidak pernah turun lagi. Sisa-sisa salju perlahan mulai mencair dan hilang. Ranting pepohonan dan tanaman mulai ditumbuhi tunas kecil. Beberapa ada yang sudah keluar bunga-bunga kecil berwarna merah muda.
Musim semi mulai menampakkan dirinya setelah musim dingin pergi. Musim dimana aku melihat bunga-bunga dan dedaunan mulai tumbuh dan bermekaran. Musim yang identik dengan arti kebangkitan dan semangat baru.
Musim dingin segera berakhir. Demikian juga dengan perkuliahanku di semester 2 yang sebentar lagi berakhir. Berakhir dengan begitu bahagia. Aku mendapatkan IPK yang cukup tinggi di semester ini yaitu 3,77. Hasil yang aku dapatkan tidak lepas dari susah payah proses yang aku lalui. Sebelum kelas berubah menjadi kelas daring, aku menghabiskan sebagian besar di kampus untuk meningkatkan kemampuan Bahasa Inggrisku. Tak lupa juga materi yang sudah Prof. Jeremy kasih aku baca setiap detailnya. Setelah pertemuan berubah menjadi online, aku masih tetap menghabiskan waktu untuk belajar dan terus belajar hingga mendapatkan hasil yang aku inginkan. Buah manis aku petik dari perjuanganku selama satu semester itu.
Berbeda dengan pencapaian akademikku, aspek lain di kehidupanku justru berbanding terbalik. Mira harus didrop-out dari kampus karena dia mendapatkan IPK di bawah 3,00. Aku dan Mira selalu belajar bersama sewaktu di semester dua. Namun, pandemi merubah segalanya. Semenjak sistem perkuliahan menjadi daring, aku sudah jarang juga berkomunikasi dengan Mira. Terakhir aku ingat dia mengatakan akan kembali ke Jaipur, India kampung halamannya. Setelah itu sudah tak ada kabar lagi darinya. Aku begitu merasa sangat sedih di saat dia tak pernah membalas pesan Whatsappku lagi. Kucoba untuk meneleponnya tapi tak diangkat. Bahkan dia lupa kalau ada janji makan malam denganku. Makan malam yang batal tak terkonfrmasi olehnya.
Di balik kebahagiaanku di akhir semester 2, ada kesedihan yang cukup dalam yang aku alami di saat kehilangan Mira.
Kesedihanku bukan hanya itu saja. Seiring meningkatnya kasus COVID-19 di Amerika, semakin banyak pula orang-orang dan mahasiswa yang memutuskan untuk kembali ke negaranya. Liburan musim panas yang panjang membuat mereka memilih untuk bersama dengan keluarganya di saat sulit seperti ini. Kak Rahmi adalah orang pertama yang memutuskan untuk kembali ke Indonesia diantara kami berempat. Kerinduan akan suami dan keluarganya sepertinya sudah semakin memuncak di saat situasi sedang tidak jelas. Aku, Elizabeth, dan Diana bisa memahaminya.
Beberapa minggu kemudian Elizabeth memutuskan juga untuk kembali ke Manokwari. Dia berpamitan dulu sebelum pergi kepadaku dan Diana. Kami juga sempat mengantarkan Elizabeth ke bandara. Lebih tepatnya, memberanikan diri untuk mengantarnya dengan menggunakan masker dan sarung tangan di saat kasus COVID-19 masih terus meningkat. Penumpang di bandara juga terlihat cukup banyak. Sekarang hanya tersisa aku dan Diana. Kami berdua pulang ke apartemen dengan memesan taksi online karena takut untuk menaiki kendaraan umum.
“Diana, kamu tidak ada rencana untuk pulang juga?” tanyaku ke Diana di dalam mobil. Diana termenung sesaat sebelum menjawab pertanyaanku. “Sebenarnya aku mau pulang, Fit. Tapi…” mata Diana mulai berkaca-kaca. Sesekali dia sesenggukan. Terdengar napas berat yang coba untuk diaturnya. “Tapi, Mama dan Papa bilang tidak usah pulang karena takut terjangkit wabah ini ketika dalam perjalanan menuju ke Indonesia,” dia menyeka air matanya yang mulai tumpah. Aku mencoba untuk menenangkannya.