Membawa Gamalama ke Boston

Muhammad Fitrah Pratama Teng
Chapter #30

Menjalani Ramadhan Sebagai Minoritas

Menikmati Ramadhan di Indonesia adalah sebuah anugerah terindah di dalam hidup. Beragamnya aktifitas di bulan suci ini membuat setiap orang, tidak terkecuali mereka yang nonmuslim, memiliki kenangan dan kerinduan tersendiri akan bulan Ramadhan. Heningnya aktifitas di pagi hari yang kemudian menjadi sangat ramai di sore hari adalah salah satu perbedaan yang sangat terasa ketika memasuki bulan ini. Banyaknya jajanan yang dijual sejak jam 3 sore hingga waktunya berbuka puasa juga selalu menjadi hal yang berbeda dibandingkan bulan biasanya. Restoran dan warung makanan yang berada di jalan atau di mall selalu penuh dengan aktifitas buka puasa bersama baik itu dengan keluarga, teman sekolah, dan juga teman kantor.

Sebagai sebuah pulau yang kental dengan sejarah agama Islam, Ternate juga tidak lepas dengan berbagai tradisi yang masih dipelihara ketika bulan Ramadhan tiba. Tradisi yang selalu membuatku tidak pernah absen untuk pulang kampung di saat bulan suci ini datang. Momen berkumpul dengan keluarga untuk menikmati sahur dan buka puasa bersama adalah hal yang tak ternilai harganya.

Namun, semuanya berbeda saat ini. Untuk kali pertama aku menikmati bulan Ramadhan di tempat yang jauh dan tanpa keluarga. Menikmati bulan Ramadhan tanpa aktifitas yang selalu familiar aku lihat dan alami. Menikmati bulan Ramadhan sebagai minoritas di Negeri Paman Sam. Menikmati bulan Ramadhan tanpa menu-menu khas Indonesia dan Ternate. Bukan hanya sekali tapi 2 kali berturut-turut.

Ramadhan pertama kali di Amerika juga lebih menantang. Hal ini karena kasus COVID-19 yang terus meningkat hingga membuat Amerika menjadi negara terbanyak dengan kasus wabah ini.

Biasanya, hari pertama puasa di Indonesia ditentukan oleh pemerintah lewat sidang isbat. Namun, berbeda dengan jadwal puasa di Kota Boston. Semuanya sudah ditentukan oleh pihak atau komunitas disana. Sebagian besar umat muslim di sana berpuasa dengan menggunakan jadwal yang sudah dibagikan di website. Aku pun demikian.

Sehari sebelum menjalankan ibadah puasa di hari pertama aku menelepon Ibu dan Ayah. Mencoba meluapkan rasa rinduku. “Bagaimana? Bisa puasa pertama tanpa kitong di situ?” Ayah memulai pertanyaan yang agak berat untuk kujawab. “Insya Allah, bisa, Pa. Berat, tapi mau bagaimana lagi?” Aku mencoba kuat menjawab. “Bagus! Harus bisa jadi lebih kuat disitu ya, Fit. Nanti kita Ramadhan ramai-ramai lagi ya setelah selesai sekolah di situ.” Ayah mencoba memotivasi.

Ibu kemudian bertanya tentang bagaimana nanti puasa hari pertama. Mau masak sendiri atau mau pesan lewat online. Aku sepertinya akan masak sendiri dengan bahan-bahan yang kubeli untuk sebulan ke depan.

Tarawih pertama di awal Ramadhan pun kujalani. Sendiri di dalam kamar apartemen. Sebenarnya ada masjid raya The Islamic Society of Boston Cultural Center yang terletak di Boston. Sandiaga Uno pernah menunaikan sholat idul fitrinya di sini. Akan tetapi, lokasinya yang cukup jauh membuatku berfikir untuk melaksanakan sholat tarawaih di masjid ini. Selain itu, pemberlakuan sistem lockdown di kota ini membuat masjid ini hanya menerima jamaah yang terbatas saja. Aku yang masih takut untuk berkumpul di tempat ramai memutuskan untuk melaksanakan sholat tarawih pertama di dalam kamar saja.

Lihat selengkapnya