Membawa Rindu Sang Illahi

Aulia Khusna
Chapter #4

Chapter 4

Safa masuk ke dalam kamarnya dan mengunci pintu. Matanya terlihat berkaca-kaca setelah menahannya agar tak keluar saat sampai di rumah dan kedua adiknya tak melihat air matanya.

Ia duduk di atas kasur dan meraih sesuatu dari saku roknya. Sebuah kertas yang terlipat menjadi ukuran yang kecil hingga bisa dimasukkan disaku. Dibukanya lipatan kertas itu dan air mata yang telah terkumpul dimatanya menetes, membasahi kalimat-kalimat yang tercetak dikertas itu.

Surat yang benar-benar meruntuhkan semangatnya. Surat pengeluaran dirinya dari sekolah. Sesuatu yang tak pernah diinginkannya dan tak pernah terbayangkan dalam benaknya.

Safa terisak pelan memandangi surat itu. Dalam hati ada penyesalan dan kekecewaan yang teramat dalam. Sedalam Palung Mariana hingga membuatnya tak bisa memaafkan dirinya sendiri. Dirobeknya kertas itu hingga berukuran kecil dan membuangnya ke tempat sampah.

Tak ada lagi harapan masa depan cerah yang dinantinya. Semua ini karena kesalahannya sendiri dan keadaan yang memaksanya untuk menjalani pekerjaan yang sama sekali tak diridhoi oleh Allah.

Safa memghapus air matanya dan bergumam pelan, "Nggak ada gunanya nangis. Sekarang yang terpenting Rizqi dan Nayla. Aku harus bisa biayai mereka sampai sukses."

***

Safa meletakkan nasi dan lauk di atas meja. Lalu ia menata tiga piring yang siap digunakan untuk makan. Dari pintu dapur, kedua adiknya masuk dan duduk dikursi yang mengitari meja makan. Mereka lantas makan tanpa ada suara kecuali dentingan sendok yang beradu dengan piring.

Setelah sarapan Rizqi dan Nayla berangkat sekolah. Safa hanya menatap kedua adiknya hingga menghilang di balik pintu dapur. Ia lantas mendekati jendela dan masih diam menatap punggung kedua adiknya yang terlihat bersemangat berjalan menuju sekolah.

Air matanya menetes. Entah sampai kapan ia akan menyembunyikan hal ini dari kedua adiknya. Memberitahu kenyataan bahwa ia dikeluarkan. Haruskah ia jujur atau berbohong? Ia takut jika dirinya jujur dirinya akan dibenci oleh kedua adiknya. Terutama Rizqi yang mungkin sudah mulai mengerti. Untuk Nayla? Mungkin dengan berjalannya waktu gadis itu juga membencinya.

Safa menghapus air matanya dan duduk. Ia meraih ponselnya yang tergeletak di atas meja makan dan menggulir layar sebentar, lantas menempelkannya ditelinga kanannya. Sesaat kemudian terdengar suara dari seberang telepon.

"Halo. Lo di rumah?"

"Gue ke rumah lo yah."

"Enggak. Aku nggak sekolah."

Lihat selengkapnya