Safa merebahkan tubuhnya di atas kasur yang ada di kamarnya. Kasur yang tak layak pakai karena terlihat usang dan banyak tambalan. Ia menatap sekilas jam dinding yang tergantung di tembok kamarnya. Jam menunjukkan pukul dua malam.
Safa terdiam mengingat-ingat pria yang tadi mengikutinya dan memanggilnya. Benarkah pria tadi teman ayahnya? Tapi untuk apa pria itu mencarinya?
Safa menghela nafas dan duduk, "Besok-besok harus hati-hati deh," gumamnya.
Ia lantas berdiri dan membuka jendela kamarnya. Dinginnya angin malam masuk ke dalam kamarnya hingga membuat hawa disekitarnya lebih dingin. Safa menatap ke arah langit. Bintang-bintang sedang menampakkan diri dan menunjukkan kerlipannya pada Safa.
Safa duduk di jendela kamarnya dan menikmati kesunyian. Setelah ia mengingat-ingat tentang pria tadi, ia jadi teringat kedua orang tuanya. Dia berpikir, apakah mereka bahagia di alam yang berbeda?
"Ayah, Ibu. Maafin Safa karena salah pilih pekerjaan. Maaf jika kesalahan Safa bikin kalian nggak bahagia di alam kalian yang sekarang. Safa harus gimana?" Gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Suaranya terdengar bergetar.
Ia takut kedua orang tuanya mendapat siksa karena perbuatannya. Tapi disisi lain ia juga harus membiayai adik-adiknya, memastikan mereka bisa menyelesaikan pendidikan hingga sarjana serta memastikan mereka bisa makan dan mencukupi kebutuhan lainnya.
Safa terisak. Seringkali ia merasa menyesal atas apa yang diperbuatnya. Ia benci dirinya yang seperti tak punya daya untuk menghentikan kesalahannya yang semakin lama semakin membuat hatinya tak tenang.
***
Aroma harum masakan tercium hingga ke dalam kamar. Rizqi yang kini sedang memasukkan buku-bukunya ke dalam tas segera mempercepat gerakan tangannya dan menutup resleting tas ranselnya. Perutnya segera berbunyi setelah aroma masakan tercium oleh indera penciumannya.
Ia berjalan menuju dapur dan mendekati kakaknya yang sedang memasak sarapan. Ia menatap ke arah wajan dan mendapati makanan favoritnya. Yaitu nasi goreng. Safa menoleh dan tersenyum. Ia mengambil sendok dan mengambil sedikit nasi goreng lalu menyodorkannya pada adiknya agar mencicipinya. Rizqi menerima suapan kakaknya dan mulutnya kepanasan karena ia langsung melahapnya tanpa menunggu dingin.
"Tunggu agak dingin dulu bisa nggak sih," ucap Safa.
"Gimana? Udah pas rasanya?" Lanjutnya yang mendapat respon jempol dan anggukan kepala dari Rizqi.
Safa mematikan kompor dan menyajikannya menjadi tiga porsi. Mereka duduk dikursi yang mengitari meja makan. Dan entah sejak kapan Nayla juga telah duduk sambil memegang sendoknya. Mereka lantas segera menyantap nasi goreng didepan mereka.
"Kak. Ehm... Aku belum bayar buku," ujar Rizqi disela-sela makan.
"Bayar berapa?"
"Seratus lima puluh enam," Safa hanya merespon dengan anggukan.
Rizqi diam menatap kakaknya dan ingin mengajukan pertanyaan. Namun ia sedikit ragu. Ia lantas memberanikan dirinya untuk bertanya, "Kak, jualan keripik pisang cukup buat biayain kita bertiga?"
Safa berhenti makan dan diam. Ia bingung harus menjawab apa. Pertanyaan Rizqi adalah salah satu pertanyaan yang membuatnya takut dan bingung harus menjawab apa.
"Nggak cukup," kata Safa dan menarik nafas. Ia berpikir kemungkinan pertanyaan selanjutnya yang akan diajukan adiknya. Dan ia harus mengarang jawabannya.
"Lalu selama ini kakak bisa penuhi kebutuhan kita darimana? Kakak pinjam uang?"
Safa menggeleng, "Ehm... Kakak... Kasih les ke temen. Mereka bayar kakak."
Rizqi manggut-manggut, "Untung kakak pinter. Jadi bisa kasih les temen kakak. Aku jadi tertarik juga kasih les ke temenku."
Safa hanya tersenyum dan melanjutkan sarapannya. Sesekali ia melirik kedua adiknya yang tampak lahap. Keduanya tak tahu rahasia yang selama ini disembunyikan olehnya.
***