Rizqi terlihat sibuk memakai dasinya. Dia menatap bayangannya dicermin lemari yang mulai agak buram itu. Ia lantas menatap dirinya dari atas hingga bawah pada cermin itu, memastikan atributnya tak kurang. Ia lantas beranjak dan meraih tas ranselnya dan keluar dari kamar.
Remaja itu mendekati kamar Nayla dan mengetuknya, namun tak ada sahutan. Ia berpikir mungkin gadis itu sudah keluar dari tadi. Jadi ia bergegas ke ruang makan. Namun ia tak menemukan keberadaan Nayla.
Ia lantas kembali menuju kamar Nayla dan mengulangi hal yang dilakukannya sebelumnya. Namun masih sama, tak ada jawaban dari dalam.
"Nayla," panggilnya diaertai ketukan pintu yang lebih keras. Namun masih tak ada jawaban.
Rizqi membuka pintu kamar Nayla dan merangsek masuk. Ia menatap Nayla dan geleng-geleng kepala melihat gadis itu masih tidur padahal lima belas menit lagi pasti bel sekolahnya berbunyi.
Ia mendekati adiknya dan tangannya bergerak menuju gadis itu, bermaksud untuk membangunkannya. Namun suara kakaknya membuatnya mengurungkan niatnya dan menoleh.
"Nayla sakit," kata kakaknya.
Rizqi mengangguk-anggukkan kepala dan keluar dari kamar Nayla. Ia lantas menutup pintu kamar dan bergegas sarapan bersama kakaknya.
"Nayla sakit apa?" Tanyanya sambil menyendok nasi didepannya.
"Demam. Kamu nggak usah khawatir. Tadi dia udah minum obat. Semoga cepet turun panasnya," jelas Safa yang direspon dengan kata "aamiin" oleh Rizqi.
***
Safa merapikan meja makan selepas Rizqi berangkat. Ia segera mencuci piring dan peralatan masak yang kotor, lalu meletakkannya di atas lincak dengan posisi tengkurap.
Dari arah pintu dapur terlihat Nayla berjalan mendekat dengan langkah lemas. Wajah manisnya yang biasanya ceria terlihat lemah dan pucat.
"Kak," panggilnya yang membuat Safa menoleh.
"Iya? Udah baikan?"
Nayla menggeleng dan menggumamkan kata "pusing" sambil memegang kepalanya. Gadis itu terlihat berhenti dan diam. Beberapa detik kemudian ia ambruk yang sontak membuat Safa kaget dan panik.
Safa segera menghampiri sang adik. Ia menyentuh kening Nayla yang masih terasa panas. Bahkan bertambah suhunya, bukan malah turun. Safa segera mengangkat tubuh mungil adiknya dan merebahkannya di kursi panjang yang ada di ruang tamu.
Ia lantas berlari ke kamar dan menyambar ponselnya yang ada di atas kasur. Tanpa pikir panjang ia menelpon seseorang yang namanya berada dalam urutan paling atas. Terdengar bunyi dengung dari ponselnya. Dia bergumam sambil mondar-mandir, berharap orang diseberang telepon mengangkat panggilannya. Namun tak ada jawaban.