Safa terlihat merogoh sesuatu dari tasnya. Sebuah kunci berada digenggamannya begitu ia mengeluarkan tangannya dari dalam tas. Lantas ia segera membuka pintu rumahnya dan masuk ke dalam. Di edarkannya pandangannya pada sekelilingnya, menatap satu persatu barang-barang yang terpajang rapi di ruangan kecil itu. Ia berencana untuk menjual barang-barang yang masih layak dijual dan tak terlalu dibutuhkan untuk membayar biaya rumah sakit adiknya.
Ia lantas melangkahkan kakinya ke ruangan lain. Matanya tertuju pada sebuah televisi yang ada di ruang keluarga. Lalu dia mendekat dan menyentuh benda itu, memberi salam perpisahan.
Safa lalu masuk ke dalam kamarnya, melakukan hal yang sama dengan sebelumnya. Ia lantas berdiri di depan cermin dan menatap pantulan dirinya. Tangannya lantas bergerak ke arah telinganya dan melepas kedua anting-antingnya. Ditatapnya sepasang perhiasan tersebut.
Anting-anting tersebut telah menemaninya selama belasan tahun. Anting yang dipakainya sejak masih sekolah dasar, benda yang menyimpan kenangan. Yang menjadi saksi bisu atas hidup yang dijalaninya selama belasan tahun. Haruskah ia menjualnya juga?
Matanya mulai berkaca-kaca, mengingat bahagianya dirinya dulu saat mendapatkan anting baru. Anting yang dipilihkan oleh ibunya. Sederhana namun indah.
"Ibu, maafin Safa. Safa terpaksa jual anting ini," gumamnya dengan suara bergetar.
Ia lantas memasukkan anting tersebut pada dompet beserta surat-suratnya. Dia harus menjualnya demi Nayla. Karena keluarga lebih berharga dari harta.
***
Safa berjalan menyusuri trotoar dengan wajah sedikit tertekuk. Otaknya kini sedang berpikir mencari cara. Uang hasil dari penjualan barang-barang berharga yang sekiranya tak terlalu dibutuhkannya dan juga adik-adiknya masih tak cukup untuk melunasi biaya rumah sakit Nayla. Haruskah is kembali pada masa lalu kelamnya?
Safa lantas duduk di bawah pohon dan diam termenung, mencoba berpikir untuk mengambil pilihan antara kembali pada masa lalu atau tidak.
Safa menghela napas sejenak dan kembali berdiri. Jarak antara tempatnya berhenti dan rumah sakit sudah dekat. Mungkin dengan melihat adik-adiknya ia bisa berpikir jernih.
Sesampainya ia di rumah sakit--tepatnya di depan ruangan Nayla, ia lantas masuk dan mendapati Rizqi sedang mengunyah sesuatu. Safa lalu mendekat dan menatap ke arah dua bungkus nasi goreng di depan Rizqi. Salah satunya telah dibuka olehnya.
"Loh, kok beli nasi goreng? Dua lagi. Emang uang saku kamu cukup?"
Rizqi menyelesaikan kunyahannya dan menelan makanannya lantas menjawab, "Nabung dong."
Safa terlihat merespon dengan alis berkerut. Ia lantas duduk di depan Rizqi dan meletakkan tas slempangnya, "Tabungan kamu jangan dipake kalo gitu. Pake tabungan kamu untuk masa depan. Biar terkumpul banyak dulu," katanya yang dibalas anggukan oleh Rizqi
***
Suasana malam terlihat sunyi. Hanya dihiasi suara hewan malam yang kini sedang aktif seperti jangkrik. Safa menatap kedua adiknya yang telah tertidur pulas setengah jam lalu. Ia lantas menatap jam dinding dan menghela napas. Dia tak bisa terus-terusan mengandalkan barang-barang dirumahnya untuk dijual hingga habis tak bersisa? Karena sebagian barang di rumahnya sangat diperlukan.
Jadi tak ada pilihan lain lagi. Dirinya terpaksa kembali pada masa lalunya. Masa lalu yang sudah terlanjur dijalaninya. Dia berpikir, dirinya sudah terlanjur menjadi wanita yang kotor dan hina. Yang mungkin tak ada lagi ampunan baginya.
Safa lantas segera beranjak dari duduknya dan keluar dari ruangan. Menyusuri lorong rumah sakit yang terlihat sepi pada malam hari. Hanya terlihat beberapa orang yang berada di luar ruangan serta para staf rumah sakit yang sedang bekerja.
Sampai di depan rumah sakit ia menatap ke arah stand nasi pecel Arga dan ibunya yang telah tutup sedari tadi dan kini tinggal sebuah tempat kosong. Ia malu jika ketahuan oleh cowok itu. Padahal memang Arga sudah tahu, jadi kenapa dirinya malu?