HAEDAR NASHIR
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Umat Islam Indonesia maupun di fora Dunia Muslim sering ditimpa beban berat karena masalah internal dirinya. Islam mahjubun bilmuslimin, ujar Muhammad Abduh. Saksikan di Timur Tengah saat ini, betapa porakporandanya saudara-saudara Muslim. Kehadiran ISIS (Islamic State of Iraq and Syria), apa pun dan siapa pun di belakangnya, muaranya berujung pada penghancuran Dunia Arab dan Islam. Suriah dan Yaman hancur karena perang saudara. Arab Saudi dan kawan-kawan harus berhadapan dengan Qatar. Pemerintah Saudi menangkap puluhan ulama dengan tuduhan melakukan pembangkangan.
Pada saat yang sama, perbedaan paham dan kepentingan sesama umat Islam di negeri ini, jika tidak dibarengi jiwa toleransi tinggi, berpotensi memperlemah kekuatan Islam. Saling tuding ekstrem dan radikal dapat menjadi pemicu. Baik dalam tatanan umum, lebih-lebih dalam perbedaan kepentingan politik, potensi centang-perenang masih menjadi problem klasik umat Islam Indonesia. Pilpres dan Pilkada sering menjadi ajang fragmentasi masyarakat termasuk bagi kaum Muslimin, satu sama lain tidak jarang saling berseberangan dan berhadapan. Sulit dibangun kekuatan umat yang kohesif.
Secara normatif umat Islam itu satu, tetapi secara entitas belum menyatu dan menjadi kekuatan utama dalam panggung politik nasional.
Selalu ada yang keluar dari barisan umat Islam. Fragmentasi politik Masyumi di masa silam dengan keluarnya beberapa elemen Islam tahun 1948 dan 1952, serta kelahiran Nasakom maupun banyaknya partai Islam pada Pemilu 1971 seakan terdaur-ulang pada era Reformasi. Fakta sejarah itu seakan-akan membenarkan tesis Eickelman dan Piscatori, bahwa antarkomponen Islam selalu terjadi kompetisi dan persaingan tinggi yang melibatkan ajaran dan simbol Islam, sehingga tidak melahirkan entitas politik yang utuh dalam arus utama politik Islam.
Problem fragmentasi politik ini berbanding lurus dengan hasrat dan perangai politik sebagian elite dan kelompok Islam yang pragmatis ketika berkuasa dalam pemerintahan. Terhadap sesama seiman tidak saling mendukung dan menguatkan namun sebaliknya, saling memotong, meminggirkan, dan melemahkan. Benturan dan saling rebut kepentingan jauh lebih kental ketimbang ikhtiar saling negosiasi, agregasi, dan kohesi antarsesama komponen Islam. Fakta politik ini sebenarnya pahit, tetapi berlangsung seperti kelaziman.
Akibat lebih jauhnya, umat Islam tidak memiliki daya tawar politik yang kuat di kancah nasional karena satu sama lain bergerak sendiri dan rawan dipecah-belah. Seperti dilukiskan Nabi Muhammad Saw., laksana sekawanan domba yang mudah dicincang oleh serigala dan membuat umat melemah. Memang secara normatif jargon ukhuwah atau persatuan dan kesatuan umat Islam selalu didengungkan nyaring, tetapi begitu masuk pada arena kepentingan kekuasaan, semuanya berantakan karena hasrat ananiyah-hizbiyah (fanatisme dan egoisme kelompok) masih kukuh dalam kesadaran komunal sebagian kaum Muslim.