Kehadiran buku ini berawal dari komunikasi Whatsapp saya dengan Pak Haidar Bagir pada Maret 2017. Didorong saran beberapa teman, saya menjajaki kemungkinan Mizan tertarik menerbitkan tulisan-tulisan saya yang berserakan. “Insya Allah, Mizan siap menerbitkan kumpulan tulisan Anda meski sudah lama kita tidak menerbitkan kumpulan tulisan”, begitu jawaban Pak Haidar akhir Maret itu. Mendapat jawaban menggembirakan dari penerbit ibarat menang undian, diselimuti perasaan harap-harap cemas dan berakhir dengan kegembiraan. Alhamdullih! Saya berterima kasih kepada Pak Haidar dan Penerbit Mizan yang sudah memberikan “kemewahan” dengan menerbitkan tulisan-tulisan ini.
Ada beberapa buku yang saya tulis, baik dikerjakan sendiri maupun bersama tim, namun buku ini merupakan buku pertama saya yang menghimpun tulisan-tulisan di pelbagai media selama ini, termasuk jurnal. Semasa kuliah di Universitas Muhammadiyah Surakarta (19982002), saya mulai belajar menulis di media-media kampus dan mencoba peruntungan di koran-koran lokal. Tulisan saya pertama kali dimuat di koran lokal sekitar tahun 2001. Bangga bercampur bahagia, ada honor buat penulisnya sebesar Rp 75.000, terhitung cukup besar untuk menutupi kebutuhan makan anak kos selama seminggu pada waktu itu.
Tulisan-tulisan dalam buku ini memotret pergulatan masyarakat Muslim dengan isu-isu keagamaan, sosial, dan politik dalam kurun waktu 15 tahun terakhir. Tulisan-tulisan tersebut dibagi berdasarkan tujuh tema yang merupakan benang merah setiap tulisan, yaitu Api Islam: Pembebasan dan Kemanusiaan, Islam Sebagai Kritik Sosial, Tantangan Intoleransi dan Kekerasan, Melawan Sektarianisme dan Takfirisme, Ancaman Radikalisme dan Terorisme, Menjadi Islam Indonesia, dan Wajah Janus Globalisasi. Ada kesatuan pesan yang mengikat makna buku ini yang merupakan pandangan fundamental, yaitu pembelaan seorang Muslim terhadap agamanya mutlak berorientasi pada pembelaan terhadap keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Prinsip dasarnya, Islam merupakan agama rahmatan lil ‘alamin (memancarkan rahmat bagi semesta). Perilaku pemeluknya seyogyanya mencerminkan sikap welas asih, memuliakan martabat manusia, tidak memaksakan kehendak, dan berjiwa besar menghargai perbedaan pandangan dan pilihan politik. Dengan demikian, komitmen membela Islam akan sukar diterima jika sikapnya justru mengancam nilainilai keadaban dan kemanusiaan. Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah menyebutkan bahwa hidup manusia harus berdasarkan tauhid, taat kepada Allah, dan bermasyarakat. Menegakkan dan menjunjung tinggi Islam dalam masyarakat merupakan kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan (Nashir, 2010: 201).
Namun, seruan dan aksi membela Islam sering menyempit cakupannya. Membela kemerdekaan berpikir, membela hak-hak minoritas, membela kelompok marjinal dan tertindas, membela tanah air, membela Pancasila, dan membela konsensus-konsensus kebangsaan yang lahir dari proses politik yang demokratis belum sepenuhnya diakui sebagai aksi bela Islam dalam pandangan mainstream. Aksi bela Islam lebih berorientasi pada kepentingan-kepentingan internal umat Islam (inward looking) dalam kerangka ukhuwwah Islamiyyah dan menjaga kemurnian keyakinan kelompoknya. Model solidaritas yang berpusat pada kesamaan keyakinan.