Membingkai Kata

rudy
Chapter #2

Bab 1 Sebuah Pertemuan

 

Jam yang melingkar di pergelangan tangan telah menunjukkan pukul satu siang ketika Roy berjalan masuk ke dalam sebuah rumah makan. Sebuah bangunan beratap coklat yang tanpa jendela. Tiang- tiang kecil yang di cat putih terlihat mencuat dari dinding yang hanya setinggi meja, menyangga atap kerucut di atasnya yang berjumbai seperti atap dari ijuk. Rumah makan yang menawarkan konsep outdoor ini pekat dengan aroma air hujan yang barusan turun, bercampur asap rokok yang telah hilang oleh tiupan angin namun masih meninggalkan bau. 

 

Jalan kecil yang becek dan penuh lubang di depan restoran itu terlihat serasi dengan tembok kusam di seberang pintu masuk yang dipenuhi coretan seniman gagal. Sebuah tulisan dari cat semprot berwarna merah membuat Roy beringsut semakin masuk kedalam ruangan rumah makan, menjauh dari pintu masuk.

 

DILARANG KENCING DI SINI!

 

Tidak ada suatu apapun yang layak untuk dilihat agak lama di tempat itu. Satu- satunya hal yang bisa didapatkan di tempat ini yang tidak terdapat di tempat lain di kota besar ini adalah terpencil dan sepi. Terutama saat siang hari.

 

Ini adalah lokasi yang kurang terjangkau oleh hingar bingar dan geliat pembangunan kota. Mungkin karena karakteristik daerah sekitar sini yang berbeda dengan daerah lain. Masih terletak di pusat kota, namun tenggelam oleh bayangan gedung- gedung tinggi pencakar langit dan terlupakan oleh geliat kesibukan kota metropolitan. Daerah ini merupakan sisi kelam kota metropolitan di mana banyak artis- artis dunia malam bermukim, dan jalan kecil yang becek ini mungkin adalah daerah paling kumuh di seluruh kawasan tersebut.

 

Roy kembali melirik jam yang melingkar di tangannya dan menghela napas panjang, dia sudah sengaja terlambat setengah jam dari janji pertemuan mereka, namun tetap saja dia kalah dan harus duduk menunggu. Tiga tahun menggarap artikel mengenai dunia malam ternyata masih belum cukup untuk membuatnya mengerti mengenai cara berhitung toleransi waktu para artis dunia malam.

 

Roy kembali memperhatikan sekelilingnya, hanya sekedar untuk memastikan bahwa selama tiga tahun menjelajah kawasan tersebut untuk mencari berita ini adalah untuk pertama kalinya dia masuk ke jalan kecil ini. Apa benar sang artis dunia malam yang akan menjadi sumber berita untuk bulan ini benar- benar adalah bintang favorit di tempat kerjanya?

 

Logikanya, sebagai bintang favorit di sebuah karaoke dan spa terkenal seharusnya dia memiliki pendapatan yang mencukupi untuk tinggal di daerah yang lebih bagus.

 

Seorang pelayan berjalan mendekat dengan membawa buku menu. Sebuah topi yang bertuliskan nama restoran itu menyembunyikan sebagian wajahnya di bawah bayangan topi.

 

Tanpa terasa mata Roy kembali menyapu sekeliling rumah makan yang tidak tertutup oleh dinding. Namun dia tidak menemukan satupun alasan yang dapat membuat selera makannya bangkit. Lidah belum mencicipi, namun yang terlihat di mata sudah cukup untuk membuat dia kehilangan selera.

 

“Hot coffee deh satu, sama air mineral satu.” Tanpa melihat buku menu dia memesan. Sebuah papan bertuliskan ‘ buka 24 jam’ sudah cukup untuk menerangkan bahwa tempat itu menyediakan kopi.

 

Sebuah suara cekikikan terdengar, pundak pelayan itu terlihat bergoyang. Dengan agak heran Roy memperhatikan pelayan yang wajahnya masih tertutup bayangan topi. Meskipun ini daerah red district, namun bahkan dalam mimpipun tidak akan terbayang olehnya bahwa akan ada pelayan yang berani menertawakan pesanan seorang pelanggan.

 

“Kenapa Mbak? Gak boleh yah pesan kopi doang?” Roy bereaksi agak ketus. Memangnya harus pesan apaan lagi di tempat seperti ini. Dia bukan tipe yang pemilih soal makanan, namun untuk memaksakan diri menelan makanan di depan tempat yang terlihat bagaikan tempat orang buang hajat adalah hal yang terasa agak berlebihan baginya.

 

Kembali terdengar suara ketawa dari gadis pelayan di depannya itu, kemudian pelayan itu melepaskan topi dan duduk di seberang meja.

 

“Galak amat. Mia hanya heran kenapa semua orang pesanannya sama kalo kesini waktu siang. Seharusnya kita janjiannya malam yah, baru pada mau pesan makanan.”

 

Roy agak tertegun menatap wajah dibalik bayangan topi itu. Sepasang mata yang berbinar kontras dengan keremangan di dalam restoran itu, terlihat seperti bintang di malam yang berkabut. Bibir merahnya yang tipis tersenyum manis seperti sedang mengejek dia. Suara tawanya terdengar garing dan memecah kesunyian di ruangan itu ketika dia melepas topi dan mengembalikannya kepada pelayan yang sesungguhnya.

 

“Loh? Maaf, kamu yang namanya Mia?” Dengan agak ragu Roy bertanya.

 

“Iya. Kamu Roy kan? Siang- siang gini hanya orang yang ada janji sama Mia yang mau masuk sampai kesini.” Lagi- lagi terdengar suara tawa yang ceria dari Mia. Mau tak mau membuat Roy ikut tersenyum, tertular oleh sifat ceria yang bagaikan menerangi seluruh ruangan yang kusam itu.

 

“Sori, aku terlambat. Mia sudah lama nunggu di sini?” Roy sadar dia telah salah, ini adalah untuk pertama kalinya dia tidak menunggu. Bahkan dia yang ditunggu.

 

“Udah lama. Mana ujan gede lagi, Mia pikir Roy udah gak bakalan dateng.”

 

“Oh nggak dong. Sampai detik ini kalo udah janji aku pasti dateng, hanya saja kadang kondisi jalanan tidak mengijinkan untuk tepat waktu.” Roy mengarang sedikit cerita sambil menyodorkan kartu namanya, padahal dia memang sengaja terlambat. Dalam keremangan Roy masih berusaha memperhatikan lawan bicaranya yang tidak terlihat seperti pemain profesional di dunia malam. Lebih mirip seorang mahasiswi yang sedang mengambil kerja tambahan di rumah makan.

 

“Interviewnya jadi?”

“Jadi. Kamu udah siap?”

“Memangnya perlu persiapan?” Mia balik bertanya.

“Perlu, tapi bukan persiapan seperti yang akan difoto. Ini lebih kepada mempersiapkan ketenangan pikiran. Jadi pada saat menjawab, jawaban yang akan kamu berikan itu adalah yang paling tepat.”

“Hmm, jawaban yang paling tepat yah. Tapi Mia mau nanya dulu nih, identitas Mia aman kan?”

“Dijamin aman. Yang ngasih referensi kamu itu adalah mami Sugi. Dan kamu bukan anak asuhnya yang pertama kali aku wawancara. Kamu boleh tanya selama ini aku menjaga rahasia mereka nggak?”

“Ok. Mia percaya Roy. Sekarang pertanyaan berikutnya. Yang Roy mau tahu itu mengenai kehidupan Mia, pekerjaan Mia, atau penghasilan Mia?”

 

Roy tertegun mendengar pertanyaan itu. Dia dapat menebak gadis di depannya agak berbeda sejak pertama kali melihatnya. Sebagai wartawan yang bertanggung jawab mencari berita untuk artikel dunia malam di sebuah majalah orang dewasa, melakukan interview dengan para pelaku dunia malam sudah merupakan makanan sehari- harinya. Dan dari semuanya, penampilan Mia adalah yang paling sopan. Tidak ada satu bagian aurat pun yang di pertontonkan. Mia hanya mengenakan kaos polo dengan celana panjang jeans seperti mahasiswi yang sedang akan berangkat ke kampus. Itu juga yang membuat Roy tidak merasakan kehadirannya saat melangkahkan kaki masuk kedalam rumah makan ini.

 

Namun bahkan dengan menyadari perbedaan penampilan Mia, pertanyaan yang barusan keluar dari mulut Mia itu terdengar agak mengejutkan. Karena pertanyaan itu terdengar seperti untuk menguji Roy. Dia merasa menjadi wartawan yang sedang di interview.

 

Roy berpikir cepat di dalam benaknya, berusaha menebak jawaban apa yang diinginkan oleh gadis di depannya ini. Roy tidak ingin kehilangan sumber berita untuk artikelnya di bulan ini. Waktu sudah terlalu sempit untuk mencari sumber berita baru.

 

“Yang aku ingin tanyakan itu adalah yang akan kamu jawab. Yang aku ingin tahu adalah yang kamu perbolehkan untuk diketahui orang lain. You are The Boss.”

“Semua boleh untuk diketahui orang lain, ini memang hidup Mia. Tapi mungkin tidak semua pertanyaan yang bisa Mia jawab, akan ada titik tertentu dimana Roy harus tahu dari orang lain.” Mia tersenyum manis penuh arti sambil mengerling seperti hendak mengejek.

 

Anak ini cerdas. Roy berkata dalam hati. Seandainya tadi Roy salah menjawab, barangkali sekarang dia telah ditinggal dan disuruh bertanya kepada mami Sugi saja. Sekali lagi dia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari Mia.

 

Di luar rumah makan itu matahari mulai menunjukkan diri dan membuat lingkungan di sekitar tidak terlihat terlalu kusam. Sebagian dari sinar itu mulai mengurangi keremangan di dalam ruangan tempat mereka berbincang. Sekarang Roy dapat dengan jelas melihat wajah lawan bicaranya.

 

Wajahnya putih seperti beras cianjur. Bukan wajah putih yang disebabkan pemakaian bedak yang seperti semen. Namun karena memang seperti itulah warna kulitnya, dari wajah hingga leher dan lengan warna kulitnya sama. Dengan raut wajah yang cantik manis, dan cenderung terlalu imut untuk ukuran anak yang berkecimpung di dunia malam. Tidak ada polesan kosmetik pada wajahnya, hanya pewarna bibir bibir berwarna merah marun yang menghiasi wajah yang terlihat lugu dan polos.  

Lihat selengkapnya