Membingkai Kata

rudy
Chapter #3

Bab 2 Strategi

 

Musik yang mengiringi masih terdengar lembut dan melemaskan urat saraf yang menegang setelah seharian penuh bekerja di kantor. Sayup- sayup terdengar lantunan suara emas Celine Dion membawakan tembang lagu my heart will go on. Lounge berbentuk elips itu masih terlihat sepi pengunjung. Hanya ada beberapa meja yang sudah terisi pengunjung, dengan aroma kopi yang masih terasa pekat di dalam ruangan. Sebuah panggung kecil yang berbentuk kotak terletak di tengah ruangan, hanya terlihat beberapa alat musik tergeletak di atas panggung, di terangi oleh sorot lampu dari empat penjuru. Tanpa pemain dan tanpa penyanyi. Namun tongkat drum yang masih bersih mengkilap dan gitar elektrik dengan senar yang tanpa karat menandakan alat musik itu masih sering di gunakan.

 

Tempat ini tidak ubahnya seperti sebuah restoran atau cafe keluarga, sebelum musik pop berganti dengan house music yang dapat membuat kepala bergoyang, dan perlahan wangi kopi akan berganti dengan aroma alkohol. Bagi sebagian penghuni bumi, menjelang malam adalah saatnya untuk mulai beraktivitas.

 

Beberapa meja bundar di bagian pinggir masih terisi dengan pengunjung yang berpakaian rapih, ala orang normal yang berkerja pada saat matahari terbit dan tidur saat bulan dan bintang bersinar. Di atas meja mereka terlihat berbagai peralatan elektronik canggih yang menghubungkan mereka dengan dunia luar melalui sebuah jaringan kasat mata. Jaringan yang membuat mereka dapat mengintip kehidupan di belahan bumi yang berseberangan, melalui alat serupa baterai yang terbang menggantung di angkasa luar.

 

Cahaya kekuningan dari sebuah lampu jalan tepat di seberang jalan menerobos masuk melalui jendela kaca, menandakan matahari telah berisitirahat, meskipun ekor cahayanya yang kuning jeruk masih terlihat di ujung barat. Malam masih terlalu pagi, meski sinar matahari sudah menghilang namun cahaya bulan belum nampak. Para artis dunia malam masih berjuang keras untuk melepaskan diri dari kasur ketika sebagian besar penduduk bumi menyudahi acara makan malam dan bersantai di depan televisi dengan keluarga masing- masing.

 

Agak jauh dari panggung itu, tersembunyi dari terangnya lampu yang menyoroti panggung, Roy duduk bersebrangan dengan Ben di sebuah meja bundar berwarna perak. Dua buah minuman ringan bersoda menemani mereka di atas meja. Hanya berjarak beberapa langkah dari lounge tempat mereka berada, terdapat sebuah minimarket yang menjual minuman ringan yang sama dengan hanya setengah dari harga di lounge ini. Sungguh menakjubkan ketika merenungkan alangkah mudahnya menjual suatu barang jika kita berhasil membuat si pembeli terhanyut oleh suasana. Itulah gunanya minuman keras dan para artis malam, memastikan siapapun yang sudah meletakkan pantat malas untuk beranjak.

 

“Lu perlu membuat sebuah perbedaan di dalam artikel elo Roy. Lu ini seperti rumah makan yang udah berjalan tiga tahun tapi gak ada menu baru. Lama- lama langganan lu bosen.” Ben berkata sambil menghisap rokok di tangannya. Dia adalah salah satu editor di perusahaan yang sama dengan Roy. Teman yang tak pernah menolak ketika diajak Roy untuk menelusuri seluk beluk dunia malam. Namun sering menolak artikel Roy.

 

Roy kembali menenggak minuman dingin di depannya, tenggorokannya terasa kering ketika mendengar kata- kata Ben. Mencari sesuatu yang baru di ruang lingkup kecil yang selama bertahun- tahun tidak berubah bukanlah perkara yang mudah untuk diatasi. Bagaikan ingin menambah menu baru namun bahan makanan yang ada di pasar itu itu saja. 

 

“Tapi kok elo nggak bosen? Malah minta ngikut mulu tiap kali gue nyari bahan cerita.” Roy membantah.

“Beda Roy. Kalo ngikut elo, gue bisa lihat cewek yang berbeda tiap malam, gak mungkin bosen. Tapi kalau hanya baca cerita, mereka gak tahu bahwa ceweknya berbeda, mereka hanya tahu kisahnya kurang lebih sama. Gitu Roy. Dan ini bukan gue yang bilang loh, gue cuma kasih bocoran dari Pak Birham loh.”

 

Roy kembali menenggak minuman bersoda di depannya. Dia sangat mengerti arti kata- kata Ben. Pak Birham adalah kepala editor di kantornya. Artikel yang dia kelola bertahun- tahun terancam diganti. Dia benar- benar harus meningkatkan kreativitas untuk memuat sesuatu yang terasa beda. Kalau perlu memodifikasi sebuah kisah dari nyata menjadi fiktif. Namun bahkan jika difiktifkan, Roy sulit membayangkan akan berdongeng seperti apa yang kedengarannya masuk akal di dunia yang sesungguhnya monoton. Hanya dua hal yang membuat dunia malam ini menarik, pasangan yang berbeda dan pengaruh alkohol. 

 

“Draft yang kemarin gue kasih lu gimana? Masa sama aja?” Roy bertanya, mengharapkan sedikit ilham dari teman kantor yang paling mengerti seluk beluk pekerjaannya ini.

“Terus terang, sama aja. Hanya kadarnya mungkin lebih pahit.”

“Gue gak ada sumber baru. Waktunya udah terlalu mepet, gak mungkin nyari sumber yang baru.”

“Roy, bukan sumber baru yang jadi masalah. Untuk kali ini lu bener, memang jadwalnya udah terlalu mepet, artikel lu tetap akan tayang. Tapi untuk selanjutnya lu harus ganti sudut pandang. Sumbernya gak perlu di ganti.”

 

Roy hanya diam mendengarkan. Keningnya berkerut, terlihat jelas dia kurang memahami kata- kata Ben. Bagaimana bisa mendapatkan sesuatu yang berbeda dari bahan yang sama?

 

Ben menghela napas panjang melihat pandangan Roy yang yang menatapnya seperti mata ikan mas dari balik akuarium. Kosong melompong tanpa ide.

 

“Selama ini lu gonta ganti cafe, tapi yang lu pesan selalu sama, kopi. Pak Birham maunya beda, lu gak perlu ganti tempat nggak apa- apa, tapi jangan pesan kopi lagi. Yang bikin bosan itu kopinya, bukan tempatnya. Yang bikin artikel lu membosankan itu adalah kisahnya, bukan ceweknya. Udah paham?”

Lihat selengkapnya