Membingkai Kata

rudy
Chapter #4

Bab 3 Menempel Impian

Roy menarik napas panjang sebelum mulai melangkahkan kaki menuju rumah makan yang belum lama dia datangi. Jika berdasarkan keinginannya sendiri, dia ingin menjadikan yang terakhir kali itu sebagai persinggahan terakhir. Namun apa daya, sumber berita yang mungkin akan dia butuhkan untuk beberapa bulan ke depan lagi- lagi menyebut tempat itu sebagai tempat pertemuan.

 

Dia berjalan menyusuri gang yang permukaan jalannya dipenuhi hiasan abstrak, yang membuatnya sesekali harus berjingkat pelan berhati- hati agar tidak menginjak hal- hal yang tidak diinginkan, yang aromanya seperti campuran antara terasi dan amoniak. Roy tidak bisa membayangkan jika ia harus melewati tempat ini pada malam hari, yang ia yakin tanpa penerangan lampu jalan.

 

Untungnya sekali ini Mia sudah terlihat bahkan sebelum Roy tiba di depan rumah makan itu. Mia juga baru tiba dari arah yang berlawanan. Mia juga telah melihat Roy dan menghentikan langkah kakinya, tidak jadi melangkah masuk ke dalam rumah makan.

 

“Langsung saja yah?” Tanya Mia.

“Ayuk.” Di jawab oleh Roy dengan penuh kelegaan.

 

Meski jalan yang menuju tempat kos itu terasa kumuh, namun ternyata tempat kosnya sendiri ternyata tidak kumuh. Rumah kos berlantai dua itu hanya ada tiga kamar di bagian atas, lantai bawahnya adalah tempat kosong yang kurang jelas kegunaannya. Seperti bagian bawah sebuah ruko yang luas, seperti difungsikan untuk gudang namun juga ada beberapa meja belajar.

 

“Orang pada mikir masuk gang ini rawan, padahal sebenarnya enggak. Karena yang punya tempat kos ini kepala premannya. Kalo ngekos di sini mah gak ada yang berani gangguin.” Kata Mia menerangkan.

“Lah ini tempat apaan Mia? Gak jelas, ada meja belajar, tapi juga ada tumpukan barang.” Tanya Roy.

“Itu bukan meja belajar, itu meja potong. Mereka biasa potong kain di atas meja itu. Tempat ini kadang di pakai untuk konveksi.”

 

Mia membawa Roy menaiki sebuah tangga besi yang terletak di samping tempat konveksi itu, yang membawa mereka memasuki sebuah ruangan yang seperti ruang tamu. Ada satu baris sofa di letakkan menghadap sebuah televisi kuno yang masih berbentuk tabung. Lapisan debu tebal berwarna kuning di atasnya sepertinya cukup untuk menanam pohon. Terlihat serasi dengan dua buah kawat nyamuk yang melapisi dua buah jendela, pori- pori kawat nyamuk itu telah hampir tertutup rapat oleh debu- debu halus yang menghinggapinya. Sekarang kawat anti nyamuk itu bahkan dapat menghentikan angin.

 

Sebaris sofa itu masih terlihat bersih karena sering diduduki, namun permukaannya yang melekuk ke bawah bahkan sebelum diduduki membuat Roy tidak tega untuk menambah beban sofa itu dengan berat tubuhnya. Belum ada tanda- tanda Roy akan menemukan sesuatu yang cukup ‘cerah’ untuk ditulis. Terkecuali bahwa tempat kos itu ternyata melebihi ekspektasi. Roy tadinya telah mempersiapkan batin untuk melihat tempat yang lebih buruk.

 

“Nih, ini kamar Mia.” Mia membuka pintu kamarnya, mempersilahkan Roy untuk masuk. Dengan agak ragu Roy mengikuti. Namun wajah polos Mia yang seperti sedang mengajak melihat pekarangan membuat Roy mengikuti.

 

Sebuah kamar yang terang dengan cat berwarna krem langsung menyambut dan membuat mata lebih segar. Sebuah kipas angin plafon melekat di atas ranjang yang cukup besar untuk memuat dua orang. Dua buah jendela yang dibiarkan terbuka terletak di ranjang, hanya dua lembar kawat nyamuk yang dibiarkan menutupi jendela terbuka itu. Berbeda dengan di ruang tamu, kawat nyamuk di dalam kamar ini sangat bersih, udara di dalam kamar terasa segar oleh sirkulasi udara yang mengalir leluasa tanpa hambatan. Sebuah televisi layar datar yang menggantung di dinding kamar menjelaskan mengenai televisi kuno di ruang tamu yang seperti telah seabad tidak terjamah oleh jari tangan.

 

Dinding yang berada tepat di bawah jendela itu menarik perhatian Roy. Di antara jendela dan ranjang, dinding yang seharusnya berwarna krem terlihat memiliki bercak- bercak putih yang tersamar oleh latar belakang dinding berwarna krem. Setelah Roy berjalan mendekat dia baru menyadari, itu bukanlah bercak, namun stiker yang di gunting dengan halus, membentuk landmark- landmark terkenal di dunia.

 

Ada patung liberty, ada menara eiffel, ada tembok besar, ada big ben, ada menara pisa, ada Kabah. Semuanya di tempel dengan rapi dan berjajar, di susun berderet dari kepala ranjang hingga ke kaki ranjang. Namun stiker putih itu tidak terlihat jelas oleh karena latar belakang dinding berwarna krem itu hampir sama terangnya.

 

“Ini bisa nyala kalo lagi gelap.” Mia seperti dapat membaca pikiran Roy. Kemudian dengan bersemangat Mia menarik gorden kain tebal yang berwarna biru untuk menutupi jendela. Mia seperti anak kecil yang sedang pamer mainan.

 

Kamar itu langsung menjadi gelap, hanya ada sedikit cahaya kebiruan yang masuk melalui jendela. Sinar matahari yang menembus tirai kain biru itu tidak menghalangi warna hijau fosfor yang sekarang menyala di stiker- stiker itu. Deretan landmark dunia itu sekarang terlihat dengan jelas dari ujung kepala ranjang hingga ujung kaki. Berpendar dan terlihat seperti melayang di antara jendela dan ranjang. Bagaikan mimpi yang menggantung di dalam kalbu.

 

“Bagus, kamu beli di mana?” Roy mencatat baik- baik di dalam hatinya. Stiker- stiker ini sudah pasti akan muncul di dalam artikelnya di edisi majalah selanjutnya.

Lihat selengkapnya