Roy memperhatikan Mia yang sedang membereskan seluruh barang belanjannya. Masih ada waktu beberapa jam sebelum Mia harus ke club. Tumpukan barang belanjaan itu memenuhi lantai di kamarnya. Itupun masih ada satu kantong plastik yang masih berada di tangan Roy. Namun dari sekian banyaknya barang belanjaan yang dibawa oleh Mia, tidak ada seujung kuku pun yang merupakan miliknya sendiri. Tidak ada secuilpun Mia berpikir untuk memanjakan dirinya sendiri.
Selama berjam- jam Roy menemani dia berbelanja, melewati demikian banyak toko yang menjual baju dan perhiasan yang indah, tidak sekalipun Mia berhenti dan menanyakan sesuatu yang untuk dirinya sendiri. Semua barang belanjaan itu adalah untuk kedua adiknya yang sebentar lagi akan memasuki tahun ajaran sekolah yang baru.
Dua pasang sepatu baru, beberapa stel baju seragam, sebuah tas untuk adiknya yang paling kecil, beberapa baju baru untuk adik nomor dua, buku dan peralatan tulis. Semuanya untuk kedua adiknya. Dia menawar seperti akan membeli tokonya sekaligus, dan membeli seolah tidak terlalu butuh.
Mia dengan teliti mencocokkan ukuran sepatu dengan sebuah kertas yang ada gambar cetakan kaki, kemudian memperhatikan seluruh sisi sepatu itu seperti pengrajin yang sedang memeriksa pahatannya.
Roy dapat melihat, dalam hal memenuhi kebutuhan adik- adiknya, Mia luar biasa serius. Dia sangat teliti dan memikirkan semuanya dengan terperinci. Dari kebutuhan alat tulis hingga pakaian, berulang kali dia melihat daftar yang telah dia tulis sejak beberapa hari yang lalu. Memastikan agar tidak ada yang tertinggal. Hingga saat mereka kembali ke kosan, Mia masih memeriksa ulang seluruh barang belanjaannya, yang membuat seluruh barang berceceran memenuhi lantai.
Pada saat seperti ini, citranya sebagai seorang artis dunia malam luntur sama sekali. Yang terlihat oleh mata Roy adalah pengorbanan seorang kakak kepada adik- adiknya. Sejak hari pertama mengenal Mia, Roy sudah diberi tahu mengenai Mia yang harus membiayai kedua adiknya di kampung. Namun melihat dengan mata kepalanya sendiri pada saat Mia mendedikasikan waktu dan hasil kerja kerasnya untuk kebutuhan adik- adiknya memunculkan sebuah sensasi tersendiri yang mau tak mau membuat Roy mengagumi Mia. Mengagumi keikhlasan dan tekad Mia untuk memikul tanggung jawab atas adik- adiknya.
“Mas Roy, makasih udah temenin Mia. Kalau tadi Mia sendirian pasti repot bawa barang sebanyak ini.” Kata Mia sambil tersenyum cerah. Wajahnya terlihat bercahaya meskipun peluh bercucuran di dahi hingga dagunya. Kipas plafon yang berputar tak banyak menolong karena angin yang keluar sama panasnya dengan angin di luar.
“Nggak masalah. Tapi nanti waktu pulang kampung gimana caranya kamu bawa barang segini banyak?”
“Kan naik travel. Bisa kok, Mia udah pernah bawa yang lebih banyak dari ini.”