Membingkai Kata

rudy
Chapter #6

Bab 5 Nur

Matahari belum muncul, bahkan sinarnya yang biasa mengawali belum terlihat ketika jam weker di kepala ranjang Roy merengek membangunkannya. Roy menjulurkan tangannya untuk mematikan deringnya yang seperti kaleng rombeng di gesek ke atas papan cuci.

 

Namun dia tidak memejamkan mata lagi, dia telah berjanji kepada Mia untuk menjemput pagi- pagi sekali. Langit masih gelap ketika Roy membuka jendela kamar apartemennya. Namun dari apartemennya yang terletak cukup tinggi dia dapat melihat sinar kekuningan yang mulai muncul di ufuk timur. Udara segar pagi hari yang masih belum bercampur timah hitam memenuhi rongga paru- parunya. Sayup terdengar dari tempatnya berdiri, gema suara ayam berkuruyuk yang merambat mengikuti hembusan angin. Beberapa bayangan hitam berkelebat cepat di antara pohon- pohon palem yang berada agak jauh di bawah jendela. Bayangan hitam itu melesat lincah di antara bayangan dedaunan dan sinar lampu jalan. Entah burung gereja yang menyambut pagi, atau kelelawar yang mengakhiri malam. 

 

Secangkir kopi dan dua helai roti bakar menjadi sarapan paginya. Telah tiga tahun sarapan ini hampir tidak pernah berubah. Hanya sesekali diganti dengan sereal, jika Roy sedang ingat untuk membeli di supermarket terdekat. Terkadang dia ingat namun supermarketnya telah tutup. Kehidupannya selama tiga tahun merantau di Jakarta ini memiliki jam kerja yang hampir sama panjang antara siang dan malam hari. Meskipun teori mengatakan jam kerjanya sama dengan jam kantor pada umumnya, pada prakteknya dia seringkali harus memburu bahan berita hingga pagi subuh. Lapangan pekerjaannya adalah tempat- tempat yang secara licik diatur agar siapapun yang berkunjung akan melupakan waktu.

 

Roy telah menerima ini semua sebagai konsekuensi bekerja di sebuah tabloid majalah dewasa, dan dia memang telah diingatkan oleh pihak perusahaan sejak awal bergabung. Malam menjadi siang dan siang menjadi malam sudah bukan hal aneh bagi mereka. Maka bangun atau tidur tanpa mengenal waktupun sudah bukan hal baru bagi dia.

 

Dia menghirup kopinya sambil menatap sebuah foto berbingkai yang diletakkan di atas meja makan, satu- satunya meja di dalam apartemen mungilnya, foto dia dengan baju toga pada saat wisuda. Lengkap dengan Ayah dan Ibunya yang tersenyum lebar, dan adik lelakinya yang tampan mengenakan jas yang disewa dari bridal. Masih segar dalam ingatan Roy, saat adiknya harus mondar mandir selama hampir dua jam untuk mencari jas, demi sebuah foto yang prosesnya hanya sedetik. Namun kenangan di foto ini bertahan untuk selama- lamanya. Masih segar dalam ingatan Roy ketika ia pamit dan minta restu kedua orang tuanya untuk memulai petualangannya sendiri. Ayah dan Ibunya tidak pernah menghalangi mimpi Roy. Bahkan tidak pernah menanyakan apa yang inginkan Roy.

 

“Kejarlah mimpimu nak. Apapun itu, jangan menyerah. Jika suatu saat dunia terlalu keras bagimu, ingatlah selalu. Di Samarinda selalu ada tempat untuk mu, di rumah ini selalu ada ruang kosong untuk mu.”

 

Itulah kata- kata Ayahnya saat mereka mengantar kepergian Roy di bandar udara Sepinggan, Balikpapan. Saat itu bandar udara Samarinda belum selesai dibangun.

 

Pikirannya terus terbang melayang ke kampung halamannya di Samarinda, berandai- andai dan membuat berbagai skenario yang terlihat secara samar di pandangan matanya. Mungkin orang tuanya masih tidur. Namun adiknya tentu telah bangun dan sedang membersihkan toko sembako milik mereka. Adiknya yang tidak pernah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi, dan toko sembako milik orang tua yang semakin sulit bersaing dengan waralaba modern yang menyebar ke segala penjuru. Dan ada dia, Roy, yang kontribusinya kepada keluarga masih sangat kecil.

 

Roy menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan, sayangnya jalan pikirannya tidak selancar pernapasannya. Pikirannya buntu, dia bahkan tidak dapat mengingat apa yang paling dibutuhkan oleh adiknya, dan kedua orang tuanya. Bagaimana kehidupan mereka di kampung? Apakah ada kebutuhan adik dan orang tuanya yang tidak tercukupi?

 

Roy tidak tahu mengenai semua itu. Sama seperti keluarganya di kampung yang tidak tahu bahwa selama ini Roy bekerja untuk tabloid majalah dewasa, dan hampir setiap malam keluar masuk tempat yang bertentangan dengan ajaran agama yang dipelajarinya sejak kecil. Hingga detik ini keluarganya di kampung masih berpikir bahwa Roy adalah wartawan di salah satu majalah berita bisnis. Dan hingga detik ini teman kantornya masih berpikir bahwa seluruh keluarga Roy tahu mengenai tempat kerja Roy.

 

Hanya saat sendirian kita bisa jujur kepada diri kita sendiri.

 

Kata- kata itu mengiang di telinga Roy. Ah seandainya Mia tahu, alangkah banyaknya manusia yang bisa di kategorikan ke dalam kalimat sederhana itu. Seandainya Mia tahu, bukan hanya karena mengejar berita yang membuat Roy ingin mempelajari seluruh kehidupan Mia. Ada sesuatu di dalam keikhlasan hati Mia saat menjalani hidup yang membuat Roy merasa seperti murid yang sedang bertemu guru. Yang membuat Roy selalu merenungi hidupnya sendiri saat malam menjelang tidur, dan saat memulai hari. Seperti sekarang ini. Dalam keadaan paling sulit, Roy masih memiliki keluarga yang akan siap mendukung. Mia sebaliknya, keadaan sulit tidak memberi pilihan untuk berjalan mundur. Yang dapat Mia lakukan hanya berjalan lurus ke depan, entah batu atau pecahan kaca yang diinjak, tak punya pilihan.

 

Sebuah pesan yang masuk membangunkan Roy dari lamunannya. Sebuah pesan masuk dari Mia, “Mas Roy, udah bangun belum?”

“ Udah, ini lagi mau mandi.” Roy membalas pesan itu dan menghabiskan sisa kopinya, kemudian segera merapihkan diri.

 

Langit masih merah bercampur kuning ketika Roy menjemput Mia. Beberapa kantong plastik besar itu memenuhi bagasi belakang, dan mereka siap untuk berangkat. Ketika sambil tertawa Roy menerima uluran tangan Mia yang menyodorkan beberapa tusuk telur gulung, jajanan yang telah sangat lama tidak rasakan oleh Roy.

 

"Mendingan kasih adik- adik kamu. Biar mereka rasain jajanan Jakarta.”

“Eh jangan. Mia nggak suka kalau mereka makan jajanan, takut mereka sakit. Kalo jajanan biar Mia saja.” Dia berkata sambil tertawa.

“Kemarin aku lupa, seharusnya beliin sesuatu buat adik- adik kamu.”

“Buat apaan? Jangan, gak usah. Mia ajarin adik biar jangan sembarangan terima hadiah. Mia takut kalau mereka terbiasa sembarang terima hadiah atau bantuan, lama- lama jadi serakah, keenakan. Lama- lama jadi males. Mereka harus mengerti, kalau mereka menginginkan sesuatu harus mau bekerja.”

Lihat selengkapnya