Di daerah pedesaan yang minim penduduk ini, hampir setiap hari mereka memasak sendiri untuk makan sehari- hari. Lala yang masih berusia sepuluh tahun sudah jago membuat telur dadar dan segala macam sambal. Koki utama di rumah itu adalah Rani, yang memang sehari- hari harus memasak untuk Lala dan dirinya sendiri. Makanan yang disiapkan sangat sederhana, namun segar dan bersih. Sedikit udang yang dibeli dari empang milik tetangga, telur dadar, sup kentang dan wortel yang tinggal petik, juga dari kebun milik tetangga. Tidak jelas mengenai berasnya, namun Roy tidak terlalu peduli, karena semuanya terlihat bersih dan menyegarkan.
Sebuah televisi kecil yang berukuran seperti tablet terletak di atas sebuah lemari, tidak jauh dari meja makan. Tersambung dengan sebuah antena portabel berbentuk bagaikan tulang ikan, yang diikat melekat ke dinding di atas televisi itu. Tidak ada kipas angin di rumah itu, karena memang tidak dibutuhkan. Bahkan pada masa paling panas, rumah itu masih terasa cukup sejuk, karena banyaknya tumbuhan dan pohon di sekitar rumah.
Mereka tidak pernah peduli harga cabe nasional, karena mereka menanam sendiri di kebun belakang rumah. Pada saat panen mereka sering membagikan kepada tetangga, sebagai balas budi karena sering meminta bahan makanan. Sifat gotong royong masih sangat kental mengakar di kampung Mia. Di kampung yang seluruh penduduknya saling mengenal itu, sudah bertahun- tahun tidak pernah terdengar ada kejahatan. Kampung Mia seperti jalan buntu, ini adalah kampung terakhir yang berbatasan langsung dengan sebuah waduk besar. Sebagai akibatnya, tidak pernah ada pendatang numpang lewat di kampung itu. Setiap orang yang menuju ke kampung itu pasti adalah yang memiliki kepentingan di kampung itu. Menjadikan kampung itu lebih mudah untuk dipantau dan diawasi.
Rani dan Lala hanya sesekali belanja ke pasar yang jaraknya setengah jam dengan sepeda, hanya seminggu sekali untuk membeli bumbu dapur seperti minyak tanah, minyak goreng, gula, garam dll. Untuk bahan makanannya sebagian besar minta atau sistem barter dengan cabe dari kebun mereka. Tidak ada yang keberatan untuk memberikan kepada mereka secara cuma- cuma. Karena semua orang di kampung itu tahu, mereka hanya mengambil sedikit.
“Dulu Mia sempat kepikiran mau pelihara ayam, biar mereka bisa makan dagingnya. Tapi batal karena nggak ada yang berani potong ayamnya.” Kata Mia ketika bercerita mengenai kehidupan sehari- hari kedua adiknya.
Roy mencatat baik- baik mengenai itu, kesempatan berikutnya ke rumah Mia, Roy sudah tahu apa yang harus dia bawa sebagai oleh- oleh. Sambil duduk dan berbincang di atas meja makan, Roy merasakan alangkah bedanya adik- adik Mia dibanding anak- anak lain yang seusia mereka.
Lala yang masih berumur sepuluh tahun tidak pernah berteriak dan menjerit gak jelas seperti anak kambing mau dipotong, seperti yang sering dilakukan oleh tetangga Roy di apartemen. Dan sebaliknya sangat patuh saat disuruh oleh Rani maupun Mia. Rani yang berusia lima belas tahun hanya memiliki sebuah smartphone jadul yang tidak terlalu smart. Dan tidak seperti gadis seusianya yang biasanya matanya melekat ke layar ponsel, Rani bahkan tidak menyentuh ponsel yang dia tinggalkan di samping televisi mungil.
Kalaupun ada sedikit kesulitan yang mereka ceritakan sambil makan, itu adalah cuaca yang mulai lembab. Sesekali hujan mulai turun, membasahi jalan yang harus mereka lalui setiap hari menuju sekolah yang jaraknya setengah jam. Jalanan yang tidak beraspal menyebabkan perjalanan adik kakak itu seperti melewati kubangan saat hujan turun dengan deras. Sepeda yang seharusnya menopang tubuh mereka, di beberapa titik harus mereka gotong agar tidak tenggelam dalam lumpur yang dapat menyebabkan jari- jari sepeda patah. Di saat seperti itu perjalanan mereka menjadi lebih dari sejam.
“Makanya, kalian harus rajin untuk sekolah. Ingat, tujuan awal kalian untuk sekolah adalah untuk memperbaiki masa depan. Kalau kalian sekarang menyerah, masa depan kalian mungkin akan lebih buruk lagi daripada sekarang. Jangan menyerah, pahlawan kemerdekaan yang resikonya kehilangan nyawa saja nggak menyerah kok.” Kata Mia berusaha menyemangati mereka. Namun tidak ada senyum seperti yang biasanya mengikuti kata- katanya. Sinar matanya sendu ketika mendengar cerita adik- adiknya, Mia seperti orang yang kehilangan sepotong hatinya ketika mendengar kesulitan adik- adiknya.
“Iya Teh, kita tetap sekolah kok. Lala dan Teh Rani gak pernah bolos kok.” Kata Lala dengan mata bundarnya menatap lurus kepada Mia.
Roy teringat saat pertama kali dia berjumpa dengan Mia, saat Mia mengatakan bahwa adik- adiknya hidup lebih sulit daripada dia. Sekarang Roy mengerti maksud Mia. Namun Mia tidak sadar, bahwa adik- adiknya masih dapat memiliki sepeda adalah berkat Mia. Mia tidak melihat bahwa adik- adiknya masih bisa bersekolah adalah berkat dia. Mia bahkan tidak menyadari bahwa rumah ini masih berbentuk dan dapat melindungi isinya adalah berkat dia. Dapur masih ngebul, adik- adiknya masih makan tiga kali sehari, masih ada listrik dan televisi, semua adalah berkat Mia. Hanya orang yang berada di luar lingkaran yang dapat melihat dengan jelas mengenai ini.
Kasih sayang Mia kepada adik- adiknya persis seperti kasih sayang Ibu kepada anak. Kasih sayang yang tidak pernah mengingat apa yang telah diberikan, namun mengingat apa yang belum diberikan.
Di atas meja makan hanya ada beberapa macam makanan yang sederhana. Tidak ada yang berlebihan, tidak ada yang cukup berkesan untuk di ceritakan. Namun kasih sayang yang mengikat ketiga kakak beradik yang duduk di sana memancarkan persaudaraan yang terasa lebih kental daripada gulai rendang, yang akan menjadi bahan inspirasi Roy untuk menulis selama berhari- hari.
Menjelang sore Mia mengajak Roy untuk menuju ke sebuah tempat, yang menurut Mia adalah rahasia dia dan adik- adiknya.
“Ini tempat rahasia keluarga kecil Mia.” Mia berkata dengan sikap misterius dan setengah berbisik, seolah ada tetangga yang cukup dekat untuk mendengar.
Dengan meminjam sepeda Rani dan Lala, mereka mengayuh sepeda melewati jalan setapak yang semakin lama semakin mengecil, hingga tanah dan kerikil jalan menghilang berubah menjadi rerumputan. Namun Mia yang di depan masih terus menggowes sepeda dengan penuh keyakinan, melindas rerumputan liar yang masih tegak, pertanda jalan itu belum ada yang melewati, jika bisa disebut jalan. Roy mengikuti di belakang, tidak banyak bertanya karena keyakinan Mia mengalahkan seluruh keraguan di hati Roy.
Tak lama kemudian mereka berhenti, karena sudah tak mungkin untuk maju terus. Sebuah tebing yang setinggi kepala menghadang jalan mereka. Namun Mia terlihat sudah tahu mengenai ini. Mia turun dari sepedanya dan menggotong sepedanya, dia bergerak menepi ke sebelah kiri dari tebing yang menghalangi itu. Mia menoleh dan menatap Roy, memberikan tanda kepada Roy agar mengikutinya.
Ternyata ada jalan setapak yang kecil memutari tebing itu. Saking kecilnya tak bisa dilalui dengan bersepeda. Namun cukup nyaman untuk di lalui dengan berjalan kaki sambil mengangkat sepeda, sedikit menanjak memutari tebing itu. Setelah memutari tebing itu kembali terlihat rerumputan persis seperti jalan sebelumnya. Setelah beberapa menit bersepeda di rerumputan mulai terlihat pandangan yang lebih luas, ternyata jalan rerumputan itu membawa mereka menanjak ke sebuah waduk. Setelah tiba di atasnya, Roy tercengang melihat pemandangan waduk yang sangat luas. Mereka berada tepat di pinggir waduk, tanah yang mereka pijak adalah tanggul yang dibuat untuk membentengi air waduk.
Tanggul yang lebar itu secara alami menjadi jalan tak beraspal yang enak untuk dibuat bersepeda. Sepanjang mata yang terlihat hanya rumput, pepohonan, dan danau yang berwarna kuning di tepian namun di tengah menjadi kebiruan.
“Bagus kan?” Tanya Mia dengan mata berbinar- binar. Mulutnya tersenyum lebar.
“Bagus.” Roy menjawab sambil menahan napas. Sensasi saat tiba di tepi waduk itu memang luar biasa. Seperti sebuah jalan setepak yang lebar dan rata, dengan pepohonan rindang di sebelah kanan dan batas air sebelah kiri. Menimbulkan sensasi seperti sedang bersepeda di tepi pantai yang sunyi namun hawa sejuk yang bertiup adalah hawa pegunungan.