Membingkai Kata

rudy
Chapter #8

Bab 7 Ekstra

Musik yang menghentak mulai terasa memekakkan telinga. Asap rokok yang menggantung semakin pekat dan membuat perih mata, botol minuman yang berada di atas meja semakin mendekati dasar. Roy masih duduk di dalam club tempat kerja Mia, masih menunggu, namun yang sedang ditunggu tidak tahu bahwa ada yang menunggu.

 

Roy mulai berpikir untuk mengirimkan pesan, namun kembali dibatalkan. Dia tahu kode etiknya, pada saat berada di ruangan karaoke biasanya para LC tidak akan menjawab pesan. Apalagi telepon. Lagipula bukan urusan yang terlalu mendesak. Roy hanya ingin berbagi kabar gembira dengan Mia yang menjadi sumber berita yang membuat artikelnya mendapatkan tambahan satu halaman pada edisi berikutnya.

 

Di depannya Wike semakin menggila dengan Ben. Kesadaran mereka semakin menipis seiring dengan isi gelas dan botol yang berpindah ke perut mereka. Roy membiarkan Wike berada di meja mereka hanya karena tahu bahwa Mia pasti akan mencari Wike setelah selesai dengan jam kerjanya. Tak disangka malah mendekatkan Wike dengan ben.

 

Roy masih tidak mengerti apa yang disukai oleh Ben dari Wike. Tatapan matanya yang liar? Tubuhnya? Keberaniannya? Atau mini dress ketat yang bagian bawahnya terlalu pendek, dan ritsleting di bagian depan yang sengaja ditarik hingga mendekati perut?

 

Roy tidak tahu. Dia hanya berharap Ben paham, bahwa Wike adalah tipe wanita yang tanpa segan akan mengatakan ‘sampai jumpa’ kepadanya, setelah itu langsung mengucapkan ‘apa kabar’ kepada lelaki lain. Wike seperti bara api yang menyala, semakin lama berada di tangan akan membuat tangan hangus terbakar. Cara terbaik adalah pegang, setelah tangan terasa hangat langsung oper kepada yang lain. Ini agar dapat mengimbangi permainan wanita yang seperti Wike, karena di mata mereka lelaki itu bagaikan dompet. Jika isinya sudah habis mereka akan mencari dompet lain. Tiga tahun malang melintang di dunia malam membuat Roy hapal dengan segala macam kelakuan mereka.

 

Hiruk pikuk di dalam club itu semakin terasa membosankan bagi Roy. Sudah mendekati tengah malam, namun yang ditunggu belum juga muncul. Sudah hampir sebulan sejak dia ikut ke kampung Mia. Dan sekarang seharusnya sudah saatnya Mia pulang kampung lagi. Dia bukan hanya ingin berterima kasih, namun juga memberikan hadiah untuk Mia.

 

Roy turun dari stool dan berjalan mendekati Ben. Agak cemas, entah temannya ini cukup sadar untuk di tinggal sendiri atau tidak. Malam sudah larut, mungkin Mia telah pulang dan beristirahat

 

“Ben, are you ok?” Tanya Roy sambil menepuk pundaknya. Ben menoleh dengan mata yang setengah terpejam, kelopak matanya bagaikan gorden jendela yang setengah diturunkan.

“Oit. Lah lu mau kemana?” Ben masih cukup sadar untuk mengenali Roy.

“Mau pulang nggak?”

“Loh, kok pagi amat udah mau pulang? Duduk dulu, lu barusan dapet tambahan halaman, rayain dulu ampe pagi.” Ben berteriak untuk mengalahkan suara hentakan musik yang hingar bingar.

Lihat selengkapnya