Lala menggowes dengan sekuat tenaga. Sepeda Lala ukurannya lebih kecil, dan ukuran rodanya juga lebih kecil, agak menyulitkan dia untuk mengayuh jika jalanan agak berlumpur. Karena lingkar roda yang terbenam lumpur semakin banyak. Ibarat bagi orang lain semata kaki, bagi dia sudah sebetis. Namun Lala tetap mengayuh dengan penuh semangat, sebentar lagi dia menang. Dia tidak lagi duduk di sadel, sekarang dia berdiri sambil mengayuh, mengandalkan berat tubuhnya untuk mendorong pelana sepeda turun. Tubuhnya doyong kiri kanan bagaikan batang bambu dihembus angin, napas terengah- engah, namun mata berbinar- binar.
Lala tidak memperhatikan indahnya jalan yang dia lalui setiap hari. Matahari pagi yang masih menguap, dengan sinarnya yang masih dalam tahap pemanasan. Di sebelah kanan mereka terhampar kebun wortel memanjakan mata, bersebelahan dengan kebun kentang. Ketika angin berhembus, seluruh daun yang di atas tanah itu bergoyang seirama bagaian ombak berwarna hijau. Seorang petani berjalan di tengah- tengah kebun, yang terlihat hanya siluetnya dengan latar langit yang merah.
Lala tidak tahu bahwa itu adalah pemandangan yang indah. Bagi dia, melihat pemandangan seperti ini adalah bagaikan melihat pekarangan di depan rumahnya. Lala melihatnya setiap hari. Akhirnya dia tiba di puncak bukit kecil itu. Dengan terengah- engah dia berhenti.
“Hore. Lala menaaang.” Lala tertawa senang melihat kebelakang. Kepada Tetehnya yang dari tadi mengayuh santai dan memperhatikan dia dari belakang. Peluh membasahi tubuh, namun wajahnya segar bagai bunga yang bermekaran. Rani tersenyum lebar memperhatikan adik kecilnya. Dia ikut tertawa dan bertepuk tangan.
“Uwak. Lala menang lagi.” Lala berteriak kepada Uwak yang hanya terlihat siluetnya.
“Hebat.” Sayup- sayup terdengar suara si Uwak yang bergema dari kejauhan.
Rani tertawa tergelak memperhatikan adiknya. Setiap hari selalu seperti ini saat mereka pergi ke sekolah. Selalu penuh canda tawa yang menyegarkan.
“Teh, cepat. Nanti telat.” Lala bergaya seolah Tetehnya yang berada satu meter di belakangnya akan menghancurkan masa depannya.
“Siap?” Rani tersenyum memandang Lala. Lala membalas pandangan itu dengan penuh gairah, senyum menghias wajah. Dia tidak menjawab, namun langsung melepas rem dan membiarkan gravitasi membawa sepedanya meluncur turun sambil menjerit jerit.
Kedua saudari itu beteriak senang dan tertawa meluncur menuruni bukit. Matahari yang masih rendah terletak di balik punggung, membuat bayangan mereka memanjang di depan. Mereka bagaikan meluncur mengejar bayangan mereka sendiri. Angin pagi yang segar menerpa wajah, peluh pada saat mendaki bagai dibayar lunas oleh belaian angin sejuk dengan aroma melati yang tumbuh liar di sepanjang saluran air. Sepeda yang melompat- lompat menggilas batu kecil dan kerikil membawa sensasi tersendiri yang selalu memberikan perasaan rindu jika beberapa hari tidak mengalaminya. Riuh rendah suara tawa mereka tidak ada yang meributkan, tertelan oleh sawah dan ladang yang terbuka dan luas.
Kemudian jalan mulai beraspal, dan tak lama bergabung dengan jalan kecamatan yang ramai dengan penduduk yang hendak ke pasar. Lala langsung memasuki gedung sekolah mereka. Enaknya di sekolah mereka ini sepeda boleh parkir di dalam, jadi hampir tidak ada resiko kehilangan sepeda. Namun Rani tidak langsung masuk ke dalam, dia berhenti di depan gerbang dan melihat seorang murid lelaki, juga berseragam putih biru seperti Rani, namun dari kelas yang lebih tinggi. Senyum- senyum kepada Rani. Dia tahu, lelaki ini sudah memperhatikan Rani sejak beberapa hari yang lalu.
Rani merasa wajahnya agak panas. Degup jantung berubah agak tidak teratur. Dia tidak mengerti apa yang terjadi. Tubuhnya seperti ada yang berubah.
“Teh, gak masuk?” Lala bertanya.
“Kamu masuk duluan. Teteh menyusul.” Jawab Rani. Kemudian dia memberanikan diri mengayuh sepeda mendekati lelaki itu.
*