Belum ada yang berubah di rumah Mia. Pekarangannya masih penuh dengan serai wangi yang semerbak harumnya dapat menentramkan jiwa. Namun hari itu tidak ada harum tanaman yang dapat membantu untuk menentramkan jiwa Mia. Dia duduk di kursi bambu di depan rumah pada saat Roy tiba, matanya sembab dan menerawang. Samar- samar telihat kantung mata yang kehitaman di sekeliling mata Mia. Dia menangis terlalu banyak dan tidur terlalu sedikit.
Kursi bambu itu berderit ketika ditambah beban tubuh Roy. Roy duduk berdiam diri di samping Mia, dan hanya dengan berdiam itu Roy dapat merasakan beratnya beban pikiran Mia. Tidak ada senyum dari Mia, matanya masih menerawang, wajahnya pucat namun tidak menghilangkan kecantikannya.
“Ada masalah sebesar ini, kenapa tidak menelepon aku? Aku bukan orang yang hanya mau berbagi senang.” Tanya Roy dengan halus.
Mia menunduk. Kedua tangan yang diletakkan tertelungkup di atas paha mulai basah terkena titik air mata yang kembali menetes. Sangat terlihat bahwa hati Mia hancur, dan hati Roy seperti diiris sembilu saat melihat Mia yang sedang menangis.
“Mia sangat ingin melihat adik- adik Mia menjadi orang normal, yang bekerja kantoran, bertemu jodoh, kemudian menikah dan hidup bahagia. Mia selalu takut kalau adik- adik Mia menjadi seperti Mia. Hidup tidak pernah memberikan pilihan kepada Mia. Tapi Mia mati- matian agar adik- adik Mia bisa memiliki banyak pilihan dalam hidup. Mungkin Mia tak dapat memenuhi semua keinginan adik- adik Mia, tapi Mia sudah memberikan semua yang Mia punya. Sewaktu Mia di telepon polisi dan di beritahu mengenai Rani, Mia merasa seluruh usaha Mia hancur lebur tak ada arti. Seluruh mimpi Mia hancur berantakan.” Mia bercerita dengan air mata yang bercucuran membasahi pipi. Dia mati- matian berusaha menahan isak tangisnya, namun impian besarnya yang hancur berantakan terlalu menyakitkan untuk di tanggung seorang diri. Mia tidak menangis oleh kesulitan hidup yang setiap hari harus dilalui olehnya, namun dia menangis seperti bayi ketika melihat adiknya salah jalan.
“Mia tidak rela jika adik- adik Mia bernasib sama. Berdiri berjajar di depan panggung bagaikan ikan yang di pajang, menunggu ada yang menunjuk tanpa ada hak untuk menolak siapapun yang menunjuk. Perasaan itu sangat menyakitkan. Tapi Mia tak bisa mengatakan ini kepada mereka.” Mia menangis dengan air mata bagaikan pancuran, bibirnya meringis kesakitan seperti ada sepotong daging yang terkoyak lepas.
Roy diam dan membiarkan Mia bercerita, kata demi kata dan kalimat demi kalimat. Beban pikiran itu kadang bagaikan kabut asap yang dapat menghilang jika tertiup angin, namun jika terlalu lama dibiarkan di dalam pikiran akan menjadi pasir dan debu yang menghabiskan tempat di dalam kepala. Lama kelamaan akan menutupi saluran untuk berpikir. Roy diam dan mendengarkan Mia, berharap dengan demikian dapat meringankan beban yang harus dipikul oleh Mia. Roy membiarkan Mia bercerita dan mengeluarkan isi hanya.
Pada saat Rani naik tingkat, dia bukan hanya menghadapi tantangan pendidikan yang lebih tinggi, atau teman- teman dan lingkungan yang baru. Lebih dari itu, Rani menghadapi tantangan alamiah usia akil balik. Rani yang mulai memasuki usia puber tak dapat menahan dorongan naluri wanitanya ketika ada yang mendekat dan menawarkan pergaulan yang lebih luas. Di tambah lagi dengan kondisi dia yang yatim piatu, dan satu- satunya kakak yang menjadi mercu suar penunjuk arah hanya pulang sebulan sekali. Bebas dan tanpa pengawasan, Rani menjadi mudah kehilangan arah. Kurangnya pengalaman dalam menghadapi dunia kehidupan yang ganas ini membuat Rani mudah dipengaruhi dan dibohongi, persis seperti Mia pada saat pertama kali merantau. Rani mengikuti apa yang dilihatnya menarik, dan melakukan apa yang kedengarannya asik. Hingga terjerumus dan bergaul dengan sekelompok remaja yang terkenal paling nakal di kampung sebelah. Masih beruntung Rani belum bergaul terlalu lama dengan mereka sebelum akhirnya kelompok itu digerebek saat berkumpul di sebuah gubuk kosong.
“Mia tahu, Mia orang bodoh. Mia berusaha banyak membaca buku agar Mia bisa membimbing adik- adik Mia. Tapi akhirnya hanya seperti membohongi diri sendiri. Mungkin memang benar kata orang, pendosa tak mungkin bisa mengajari orang untuk berbuat baik.” Air mata Mia bercucuran sambil bercerita, setiap kata dan kalimat yang dia ucapkan berasal dari ceruk hatinya yang paling dalam. Setiap nada yang keluar dari bibirnya memperlihatkan betapa pedih hatinya saat ini.
“Mia. Kamu tidak salah. Kamu sudah melakukan yang terbaik yang kamu bisa. Percayalah pada aku, perhatian kamu kepada adik- adikmu tidak kalah dengan perhatian orang tua kepada anak. Namun semua orang memiliki keterbatasan, seperti juga kamu yang memiliki keterbatasan. Kamu tak perlu mengangkat seluruh beban seorang diri. Ada aku, kamu boleh berbagi bebanmu kepada aku. Besok kita bersama- sama ke kantor polisi. Aku mau lihat, mungkin ada sesuatu yang bisa aku lakukan. Untuk sekarang ini kamu tenangkan diri kamu dulu. Ingat, selain Rani, kamu juga masih ada Lala yang juga butuh perhatian kamu.” Kata Roy sambil mengusap pipi pucat Mia yang basah oleh air mata. Mia menatap lurus kepada Roy, matanya masih basah namun ada senyum di ujung bibirnya. Sebuah anggukan pelan yang hampir tidak terlihat dia berikan sebagai jawaban atas ajakan Roy.
Setelah menangis keras, dan mengeluarkan seluruh gundah gulananya, Mia terlihat lebih lega. Untuk memastikan agar Mia tidak terlalu tertekan suasana, Roy mengajak Mia ke kota terdekat, sekalian membeli makanan untuk makan malam.
Kota yang terdekat dari rumah Mia masih berjarak sekitar setengah jam, hanya sebuah kota kecamatan yang kecil, namun lumayan padat karena letaknya cukup dekat dengan Bandung. Di kota kecil inilah letak sekolah Rani dan Lala.
Pada dasarnya tempat yang di sebut kota ini hanyalah sebuah jalan besar yang kiri dan kanannya memiliki berbagai macam fasilitas. Di satu jalan yang panjangnya hanya sekitar 1,5 kilometer ini mereka bisa menemukan segalanya. Mini market, pasar inpres, toko sembako, sekolah, kantor kecamatan, masjid, toko ban, bengkel mobil dan motor, toko handphone, segala macam kios kecil yang menjual kebutuhan sehari- hari, dan berbagai macam toko makanan.
Hari telah menjelang senja saat mobil berjalan dengan tersendat- sendat, merayap di jalan yang penuh dengan kendaraan dan pejalan kaki. Pedagang kecil dan kaki lima menempati pinggir jalan, sehingga para pejalan kaki tumpah ruah ke jalan raya. Dan seakan belum cukup meriah, mobil angkot segala macam warna mangkal di sana sini mencari penumpang.
“Rani ada di kantor polisi yang mana?” Tanya Roy.
“Bukan di sini. Dia di Bandung selatan.” Jawab Mia. Dia kelihatan sudah lebih tenang setelah melihat keramaian di sepanjang jalan itu yang tumpah ruah hingga tak jelas mana jalur yang ke depan, dan mana yang lawan arah.
Roy mengendarai mobil dengan perlahan, berusaha mengarahkan mobil ke sebuah restoran padang. Atapnya yang runcing dan mencuat keluar dari tepi jalan terlihat dari jarak jauh. Sinar matahari yang mulai berwarna kekuningan masih cukup hangat ketika mereka turun dari mobil dan memasuki rumah makan itu.
Pelataran parkir yang luas di depan rumah makan itu bagaikan gula yang mengundang semut. Berbagai gerobak penjaja makanan berderet nyaris menutupi pelataran parkir, sebuah tenda yang menjual roti bakar khas bandung juga memenuhi pelataran parkir itu. Dari jauh pelataran parkir itu tampak bagaikan alun- alun kota yang menjadi pusat keramaian di sepanjang jalan itu.
“Kita makan di sini saja Mas.”
“Lala gimana?”
“Punya Lala baru di bungkus. Kita berdua makan di sini, seru liat jalanan rame gini.” Kata Mia sambil memperhatikan seluruh jajanan yang terhampar di pelataran parkir. Dia seperti menemukan lagi semangatnya setelah melihat banyaknya orang yang tumpah ruah di jalanan, dengan segala macam warna perjuangan hidup yang mungkin lebih keras dari yang pernah Mia rasakan.
Mereka memilih tempat duduk yang paling dekat dengan jendela yang menghadap pelataran parkir. Pemandangan orang yang berseliweran menjadi obat cuci mata bagi mereka sebelum kembali ke pelataran parkir di rumah Mia yang kosong melompong.