Pohon mangga itu mulai berbuah. Setelah lebih dari dua tahun tumbuh, tersembunyi di balik pohon cemara, tanpa teman dan saudara. Pohon mangga yang sebatang kara. Buahnya yang hijau dan masih sebesar kedondong terlihat bermunculan dari balik dedaunan yang rimbun. Menyeruak di antara ranting- ranting kecil yang becabang, dan warna hijau tuanya terlihat kontras dengan daun di ujung ranting yang sebagian menguning.
Entah bagaimana hubungannya, di sekitar pohon mangga itu sangat banyak capung, yang tidak terlihat saat mereka duduk di bawah pohon cemara. Capung- capung itu terbang berputar- putar dan berdengung seperti kawanan lebah. Namun setidaknya mereka tidak memiliki sengat, hanya saja membuat Roy dan Mia harus berkali- kali mengayun tangan seperti sedang menyibak kelambu yang tak terlihat. Tepat di atas pohon mangga terlihat sarang burung, entah burung apa, tak mungkin dikenali dari sarangnya kan?
“Bagus kalau ada burung, burung kan makan ulat. Jadi buahnya aman nggak dimakan ulat.” Mia berseru
Loh? Kalau burungnya makan buah gimana? Roy membatin. Tapi sudahlah, siapa pula yang mau meributkan mengenai itu.
“Ini kalau matangnya waktu kamu di Jakarta gimana dong? Sayang kalo busuk semua.” Roy memperhatikan seluruh buah itu yang masih lebih kecil dari tomat, dan masih keras bagaikan kentang.
“Pasti diambil Rani. Dia tahu kok tempat ini. Nanti Mia bilangin. Dia pasti senang. Apa lagi Lala, bisa loncat- loncat dia.” Kata Mia sambil tersenyum lebar.
Dua hari setelah Rani pulang, kehidupan Mia mulai kembali kepada rel sebelumnya. Hanya saja Rani agak repot karena harus berangkat sangat pagi ke sekolah pesantren. Namun itu adalah pilihan yang terbaik, dengan demikian ada asupan pelajaran moral kepada Rani.
Roy duduk di bawah pohon cemara, dan memperhatikan Mia yang masih berdiri di tepian air sambil memicingkan mata menatap dua bukit di kejauhan. Seperti berusaha memanggil kembali kenangan jaman dulu yang membuat hidupnya berbelok drastis. Warna air yang kuning kebiruan sedikit beriak oleh angin sepoi- sepoi yang menggoyang pohon cemara, dihias dengan tali air dari para angsa yang berenang mengelilingi danau.
“Pernah kepikiran untuk camping di sini nggak?” Roy bertanya saat Mia kembali duduk di sampingnya.
“Nggak. Pasti banyak nyamuk kalau malam.”
“Mia, apa yang paling kamu inginkan untuk sekarang ini?”
“Kenapa nanya?”