MEROKOK DAPAT MEMBUNUHMU !!!
Tulisan itu berderet mengelilingi ruangan kotak tempat mereka meeting. Iklan rokok dan majalah dewasa selalu berjalan beriringan, bagai mempelai pria dan wanita. Ruangan kotak itu hanya ada tiga orang. Roy, Ben dan Pak Birham. Namun jumlah gelas yang masih terletak di atas meja melebihi tiga, menunjukkan jumlah orang sebelum rapat bubar yang melebihi tiga orang.
“Ingat, artikel kamu sekarang sudah menjadi cerbung yang di tunggu- tunggu oleh pembaca setia kita. Seharusnya setiap awal bulan kamu sudah menyediakan tema yang akan kamu tulis. Minimal kita semua memiliki panduan, agar artikel yang lain tidak ada yang topiknya sama dengan artikel kamu.” Pak Birham berkata kepada Roy. Wajahnya yang hitam gelap terlihat kontras dengan gigi dan matanya, senyumnya menunjukkan keriangan karena artikel Roy sukses besar, namun kata- katanya menunjukkan dia menginginkan lebih.
Roy diam dan berpikir, sadar bahwa situasinya sekarang malah menjadi serba salah. Bagaimana pula menentukan tema mengenai apa yang akan terjadi kepada Mia di bulan ini. Yang dia tulis adalah berdasarkan kisah nyata, mustahil Roy tahu apa yang akan terjadi kepada Mia esok hari, atau minggu depan, atau akhir bulan. Tanpa sadar mata Roy melirik kalender lipat yang terletak di atas meja, masih sekitar seminggu sebelum Mia pulang kampung. Mungkin sekarang buah mangga itu sudah ranum. Atau itu saja yang dijadikan tema? Mangga yang matang?
“Ok kalau begitu saya tunggu saja laporan dari kamu. Ben, kamu jelaskan lebih kepada dia, kesulitan kita selama ini bagaimana. Pada saat mau cetak tetapi banyak artikel yang topiknya sama. Saya tinggal yah.” Pak Birham bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan ruangan. Badannya yang tinggi besar memenuhi daun pintu, dia harus menguakkan daun pintu secara maksimal agar dapat berjalan lewat dengan leluasa. Sebagai akibatnya setiap kali pintu ditutup setelah dia lewat akan terasa seperti dibanting.
Ruangan itu sunyi setelah ditinggal Boss mereka. Roy duduk dengan kening berkerut, dan Ben memperhatikan dia sambil tersenyum lebar. Ben jelas mengerti perasaan sobatnya sekarang ini, sebagai editor kelas kakap yang telah belasan tahun bekerja sama dengan penulis segala macam buku, dia sangat mengerti kesulitan yang di hadapi Roy.
“Lu gak ada simpanan sih.” Kata Ben. Roy menoleh menatapnya, kerutan di keningnya semakin dalam.
“Maksud lo apaan sih. Simpanan gimana? Bini aja belum punya. Lagian apa hubungannya sama topik artikel?” Roy sewot, menyemprot sobatnya yang sering memberikan saran dengan cara yang terlalu misterius.
“Itu trik lama penulis artikel di berbagai majalah. Kisah hidup bulan ini, untuk artikel dua bulan yang akan datang. Makanya mereka bisa kasih topiknya di awal bulan. Kalau lu kan beda. Cerita bulan ini langsung lu terbitin bulan ini juga. Lu gak ada simpanan cerita untuk ditulis bulan depan. Makanya waktu disuruh kasih tema di awal bulan lu bingung.” Kata Ben dengan senyum. Dia tersenyum semakin lebar pada saat melihat wajah Roy yang seperti dijitak kepalanya. Roy melongo, namun kemudian mengangguk- angguk.
Mereka berjalan keluar dari ruangan kantor dan langsung menuju lapangan parkir. Cuaca yang terik dan berdebu menyambut mereka pada saat berjalan menyusuri lapangan terbuka yang tanpa pepohonan. Di luar pagar pembatas gedung terlihat barisan kendaraan yang maju tersendat- sendat, khas daerah perkantoran yang super padat. Bahkan jalur khusus bus tidak terkecuali dari tempat pelarian pengendara motor yang selalu berinovasi untuk mencari jalan tercepat. Bagaikan air yang mencari jalan keluar ke segala celah. Suara klakson bersahutan dengan deru mesin kendaraan, di kejauhan terdengar suara peluit polantas. Inilah symphoni di jalanan Ibukota yang dapat terdengar sepanjang hari, bahkan sepanjang malam.
“Lu mau ikut ngga? Gue mau makan siang sama Mia, cari bahan cerita lagi.” Kata Roy kepada Ben.
"Nggak. Ngapain siang? Malam lebih seru.” Ben tersenyum penuh arti.
“Masih bareng sama Wike?” Tanya Roy tanpa menyembunyikan kecemasannya.
Ben tertawa tergelak. “Lu santai aja bro. Gue tau cara beli sate tanpa bawa kambingnya pulang.”
Jalan sempit yang menuju kosan Mia mulai terasa akrab bagi Roy, bahkan rumah makan yang dulu terlihat di bawah standard mulai terihat tidak terlalu buruk. Kemampuan adaptasi selalu berjalan beriringan dengan waktu, bisa karena biasa. Mia selalu mengatakan ada beberapa menu di rumah makan itu yang layak untuk dicicipi, namun proses adaptasi Roy berhenti hanya sekedar di mata, belum sampai turun ke mulut.
Dia naik ke ruang tamu dengan televisi tabung yang di selimuti debu itu, dan melihat kamar Mia terbuka. Roy mengetuk pintunya yang dengan perlahan terbuka, terbuka oleh dorongan jarinya.
“Masuk.” Terdengar suara Mia dari dalam.
Roy masuk dan melihat Mia duduk di tepi ranjang. Rambut panjangnya masih basah, dengan kaos berlengan panjang. Sebuah senyum tipis di bibirnya menyambut Roy yang bejalan memasuki kamarnya. Land mark tempelan masih berjajar rapih dari kepala hingga kaki ranjang. Wajah Mia segar karena habis mandi, namun Roy yang sangat sering bertemu dengannya dapat merasakan suasana hati Mia tidak sesegar wajahnya yang memang selalu bersih bersinar.
“Ayu makan.” Kata Roy dengan tersenyum. Dia sudah cukup mengenal Mia. Jika Mia memang ingin menceritakan masalahnya, dia akan menceritakan tanpa perlu ditanya. Sebaliknya, jika tidak ingin bercerita, tidak ada gunanya ditanya. Karena satu katapun tidak akan keluar dari mulut Mia jika dia tidak ingin bercerita.