Waktu itu masih siang ketika Roy duduk di bangku panjang bambu di depan rumah Mia. Mia berlari keluar sambil membawa raport Lala, ada senyum sekaligus air mata di wajahnya. Lala ternyata juara dua di kelasnya. Air mata bahagia di pipi Mia terlihat bagai mutiara yang bercahaya, bergulir di pipi putihnya dan berkilau memantulkan cahaya matahari. Rasa bangga yang memancar dari Mia demikian pekat terasa, bagaikan segelas susu kental manis yang dapat menghangatkan tubuh dan mengusir rasa lelah.
“Sekarang makin banyak lagi alasan untuk membawa Lala tamasya.” Kata Roy sambil tersenyum
Mia tidak balas tersenyum. Namun dia tertawa bahagia, dengan pipi yang masih berkilau oleh air mata yang memantulkan sinar matahari. Terlihat bagaikan untaian mutiara yang berkilau.
Rani belum pulang ke rumah saat mereka berangkat kembali ke Jakarta. Sekolah pesantrennya agak jauh dari rumah. Lala diam dan agak ragu ketika melihat Mia menutup dan mengunci pintu. Lala telah terlalu terbiasa hidup berdua dengan Rani. Dan sebaliknya pun demikian. Lala sedih karena Rani tidak libur, sekolah pesantren jadwalnya agak berbeda dengan sekolah umum. Namun saat Mia memeluknya dengan hangat dan mencium pipinya, Lala menyerah tanpa banyak tanya dan mengikuti mereka masuk ke dalam mobil.
Lala jelas kaget ketika pertama kali melihat kota Jakarta. Dengan mobil yang menyemut dan berbaris tanpa ujung di jalan raya, dan jumlah pejalan kaki yang lebih banyak daripada kerumunan tawon di sarangnya. Dia duduk di bangku belakang, dan kepalanya menjulur ke depan, mencuat di antara Roy dan Mia. Dengan penuh minat dia memperhatikan Ibukota yang masih terang benderang meskipun jam telah menunjukkan pukul delapan malam. Lala diam seribu bahasa, namun kepalanya tidak berhenti berputar. Bola matanya berpindah sana sini seperti kelereng di dalam mangkuk kaca.
Roy memutuskan untuk memulai petualangannya di senayan, membiarkan dia menikmati trotoar yang luas di sekeliling sana, dan menyaksikan keramaian kaki lima dan warung tenda yang berjajar rapi. Dengan meja dan bangku yang tersusun rapih dan penuh dengan pengunjung. Mereka duduk dan makan sate, Mia dan Lala berkeliling di sekitar trotoar dan berfoto ria. Lala belum berani menjauh dari Mia, dia masih kaget melihat banyaknya orang di sekeliling dia. Ini adalah pertama kali dia menyaksikan demikian banyaknya orang berkumpul di sebuah tempat yang kecil saja.
Namun wajahnya cerah, matanya bersinar terang, dan penuh dengan rasa ingin tahu. Dia memperhatikan semuanya dengan penuh minat, tidak ada sisi yang lepas dari perhatiannya. Lampu jalan berwarna kuning jeruk yang berderet rapih, warung tenda yang berjejer dengan berbagai macam dagangan, mobil dan motor yang di parkir di pinggir jalan, jalan raya yang lebarnya sekitar sepuluh kali jalan menuju kampung mereka, dan aspal yang mulus dan datar seperti lantai masjid di kota kecamatan.
Setelah tiga puluh menit bersantai dan selesai mengisi perut, Lala mulai berlari- lari kecil. Dia memperhatikan meja demi meja yang berderet, dengan berbagai macam orang yang belum pernah dia lihat. Dari pakaian, warna kulit, hingga pengamen yang berkeliling membawa gitar. Dia mulai berani berjalan lebih jauh sambil membaca tulisan di tiap warung tenda, sangat banyak makanan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ini adalah sebuah dunia yang sama sekali baru bagi Lala. Dunia yang selama ini hanya pernah ia lihat di layar televisi kecil di ruang makannya. Semakin jauh langkah kakinya berjalan, semakin banyak ia melihat hal- hal baru.
“Rani sudah pernah ke Jakarta belum?” Tanya Roy sambil memperhatikan Lala dari kejauhan.
“Belum.” Jawab Mia dengan suara lirih.
“Kamu harus ajak juga sekali- kali. Bukan hanya untuk tamasya, tapi mereka juga bisa belajar. Coba kamu lihat Lala, bagi dia semua ini adalah hal baru, dia perlu tahu bahwa dunia ini sangat luas. Rani juga sama. Apalagi kalau Rani melihat gedung- gedung tinggi di Jakarta, mungkin dia akan makin termotivasi untuk menjadi arsitek.”
Mia mengangguk menyetujui. Matanya tidak lepas memperhatikan Lala yang sekarang terpaku melihat sebuah bangunan besar yang bentuknya seperti pasar inpres di kota kecamatan. Namun dengan ukuran yang puluhan kali lebih besar, dan di selimuti lampu di hampir seluruh sisi bangunan, dengan kedai- kedai cantik yang berderet rapi di bagian luar. Malam itu dia bilang kepada Mia bahwa ia ingin memiliki salah satu kedai untuk menjual makanan di sana.
Pada hari berikutnya, Lala tercengang lebih lama lagi saat melihat pameran lampu di taman monas, lengkap dengan air mancur yang menari meliuk- liuk dengan indah. Mereka duduk lama di sana, sambil membiarkan Lala merasakan jajanan khas Jakarta yang tidak pernah ia lihat di kampung. Lala tenggelam di antara anak- anak seumurannya yang bersorak dan berseru gembira ketika melihat tugu monas yang penuh dengan warna warni di seluruh dindingnya, bergerak indah seperti layar tancap di kampung. Dia berdiri sangat dekat dengan tepian kolam air mancur, dengan serius berusaha melihat ke dasar kolam, apa yang membuat tali air itu meliuk- liuk seperti kain tipis yang ditiup angin. Mia segera datang memegang Lala erat- erat sebelum dia menceburkan diri ke dalam kolam demi menemukan jawaban atas rasa penasarannya. Malam itu Lala ingin menjadi tukang pipa, karena ia pikir air itu bergerak oleh karena tukang pipa yang menggerakkan dari bawah.
Lala berlari gembira di atas pasir pantai, ini adalah pertama kali dia melihat pantai yang sesungguhnya. Selama ini dia hanya pernah melihat tepian air di tanggul waduk. Yang biasanya dinaungi dengan pohon cemara, sekarang dia duduk dan dinaungi kerindangan pohon kelapa. Dia kembali tercengang ketika dibawa makan malam di sebuah restoran yang sangat besar, dengan ratusan meja yang berderet seperti tak ada ujung, luas restoran itu bahkan melebihi sekolah Lala. Di sana Lala pertama kali merasakan daging kepiting, dan kepalanya tak berhenti berputar memperhatikan beberapa meja yang bergantian menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Malam itu ia mengatakan, suatu saat dia akan mengadakan pesta ulang tahunnya sendiri di tempat itu. Dengan serius Lala berjanji akan belajar dengan giat dan bekerja keras untuk mewujudkan keinginannya itu.
Mereka menghabiskan seharian penuh di wahana dunia fantasi, merasakan berbagai macam permainan yang belum pernah dilihat oleh Lala, bahkan di layar televisi sekalipun. Semuanya dicoba olehnya. Roy dan Mia tidak memiliki semangat dan energy sebesar Lala, dan setelah menjelang senja mereka akhirnya hanya menunggu Lala di tiap permainan yang dia naiki. Rasa ingin tahu Lala meledak- ledak. Dia seperti penasaran setiap kali melihat ada anak seumurannya yang sedang melakukan sesuatu yang tidak dia lakukan. Lantas dia juga ingin mencoba. Dia tercengang ketika melihat seorang anak perempuan yang seusia dengannya memegang sebuah tongkat yang diujungnya melekat gulungan yang seperti kapas, ukurannya bahkan lebih besar dari balon. Gulungan kapas itu bisa dimakan. Dia segera ikut mengantri di kedai penjual gulungan kapas itu, matanya tak berkedip memperhatikan proses pembuatan kembang gula itu hingga selesai. Setelah tahu dan merasakan, dia baru merasa puas. Malam itu dia ingin menjadi anggota kabaret yang berpakaian warna warni, dan berdiri di atas kendaraan penuh lampu indah mengelilingi seluruh area wahana permainan. Hingga malam menjelang, mereka bertiga akhirnya duduk dan beristirahat di atas sebuah pondok yang di buat seperti perahu, dengan layar yang di bentuk dengan tali temali yang bisa menjadi tempat ayunan. Menikmati angin semilir dan memperhatikan Lala yang mulai kecapekan, namun mulutnya masih dengan penuh semangat terus berceloteh mengenai serunya permainan yang tidak dinaiki oleh Mia dan Roy.
“Kamu gak panas pakai lengan panjang melulu?” Tanya Roy kepada Mia.
“Nggak. Malah nutupin sinar matahari kalau begini.”