Roy kembali mencoba. Dia memperhatikan layar ponsel, tetap tidak tersambung. Sudah lebih dari seminggu sejak kedatangan Lala, dia belum bisa menghubungi Mia. Sekali mungkin tak apa- apa. Namun setelah belasan kali, Roy mulai merasa ada yang tidak beres. Hal semacam ini tidak pernah terjadi sebelumnya.
Dia menatap jam di dinding, jika dia berangkat secepatnya, mungkin akan sempat tiba di kos Mia sebelum dia berangkat kerja. Roy tidak mengulur waktu dan segera meluncur.
Semuanya masih belum berubah. Dengan heran Roy melihat pintu kamar Mia yang terbuka lebar, lebih heran lagi saat dia melongok ke dalam kamar. Kamar itu kosong. Bukan kosong karena tak ada orang di dalamnya, namun kosong arti sesungguhnya. Hanya ada ranjang dan kipas angin. Tidak ada tumpukan baju yang biasanya langsung terlihat, juga tidak ada lagi tempelan stiker- stiker land mark dunia di bawah jendela. Rak yang berisi buku juga terbuka lebar, menunjukkan dalamnya yang kosong melompong.
Tidak sampai dua minggu yang lalu Roy masih tidur di sini, dan dia juga yang membantu Mia saat balik pindah dari apartemennya ke kos ini.
Roy mengetuk pintu kamar Wike. Tidak berapa lama kemudian pintu kamar Wike terbuka, dia berjalan keluar kamar dengan rambut yang masih basah sehabis keramas.
“Kenapa? Gak ada Mia baru nyari gue yah? Kalo masih ada Mia lu anggap gue kayak batu.” Wike ngedumel.
“Mia kemana?” Tanya Roy tanpa basa basi. Seminggu tinggal di kos ini, dia memiliki cukup banyak interaksi dengan Wike yang orangnya memang tanpa basa basi. Di samping dari penampilannya yang selalu seperti cacing kepanasan, sebenarnya Wike adalah teman bicara yang cukup menyenangkan.
Wike tidak menjawab, namun dengan kening berkerut memperhatikan Roy. Seperti ingin memeriksa kotoran di wajah Roy.
“Heran gue. Sepertinya gak ada yang salah sama lo. Kenapa yah?” Wike bergumam, seperti berbicara dengan dirinya sendiri, namun jelas terdengar oleh Roy yang semakin penasaran.
“Maksud lo apaan Wike?”
Wike menarik napas panjang, menimbang- nimbang, setelah beberapa saat dia berkata,” gue akan terus terang sama lo. Karena kelihatannya lu orang baik. Lu sama sekali nggak kelihatan seperti cowok brengsek yang sering gue lihat di club. Lu coba pikir- pikir deh, ada bikin salah apa sama Mia?”
Roy terhenyak mendengar pertanyaan Wike. Hanya ada satu arti dari kata- kata Wike, berarti selama ini Mia sengaja tidak menerima panggilan telepon dari Roy. Dan sengaja pula tidak membaca pesan dari Roy.
“Dia sekarang tinggal di mana?” Tanya Roy.
“Mengenai itu gue sendiripun nggak tahu. Mia gak pernah cerita. Tapi dia masih kerja di club kok. Lu sebenarnya ada apa sih sama Mia? Lagi ribut?” Tanya Wike.
“Gue juga mau tanya hal yang sama kepada Mia. Karena gue merasa selama ini baik- baik aja.” Roy segera berjalan keluar dari tempat kos itu. Sambil berjalan ke mobil dia berpikir, Mia sangat peduli dengan penghematan pengeluarannya selama di Jakarta. Dia adalah seorang kakak yang rela kelaparan demi adik- adiknya. Dia mustahil pindah jauh dari daerah ini.
“Eh tunggu. Lu mau kemana?” Wike berteriak memanggil.
“Club. Kenapa?”
“Tunggu bentar, gue nebeng.”
Roy menghela napas. Mustahil untuk menolak. Mana mungkin menolak permintaan teman yang hanya sekedar ingin menumpang. Dia hanya bisa berdoa agar Wike mengenakan pakaian yang cukup pantas di sebut berpakaian. Bukan hal yang menyenangkan untuk berjalan kaki bersama Wike dan naik turun mobilnya, dengan pakaian seperti yang biasa dikenakan oleh Wike. Harapan tinggal harapan, semuanya buyar ketika Wike keluar dari kamar dengan sehelai baju terusan berwarna merah menyala yang menempel bagaikan kulit di tubuhnya. Untuk pertama kalinya Roy merasa ingin berlari secepatnya dan segera masuk ke dalam mobil.
Mereka segera meluncur ke club tempat Mia bekerja. Masih terlalu siang, lounge di lantai dasar masih merupakan cafe yang menawarkan tempat untuk bersantai dan ngobrol dengan diiringi irama musik pop yang lembut. Namun di lantai atas karaoke tetaplah karaoke. Tidak peduli jam berapapun.
Dia langsung naik ke lantai atas meninggalkan Wike yang masih bercanda ria dengan petugas cafe, Wike seperti menikmati pandangan mata pengunjung yang terbelalak oleh penampilannya. Roy mencari Mami Sugi. Seorang resepsionis yang duduk di meja tepat di depan tangga langsung mengenali wajah Roy yang memang sering beredar di sana.
“Din, Mami Sugi ada?” Roy bertanya kepada Dini. Resepsionis yang sudah enam tahun bekerja di sana. Dini mengenal hampir seluruh pelanggan di sana, dari pengusaha , pengacara hingga pejabat.