Debu yang mengebul di depan apartemen menunjukkan keringnya udara sepanjang hari. Angin kencang yang memantul dari gedung tinggi apartemen menerbangkan debu dan dedaunan kering di jalanan hingga tinggi ke udara, seperti sedang berada di padang pasir.
Roy membalikkan badan, berlawanan arah dengan gedung apartemen tempat asal angin kencang itu. Menjaga agar debu tidak singgah di matanya. Dia baru saja keluar dari pintu mini market, angin kencang itu sempat membuat dia berpikir untuk kembali masuk ke dalam. Namun dia membatalkannya, sekedar tidak mau menerima pandangan penuh tanda tanya dari si kasir. Dia berdiri diam di depan mini market yang terletak di seberang apartemen. Terpaksa menunggu hingga angin kencang itu reda. Sambil berdiri menunggu dia memperhatikan deretan ruko dengan papan nama terletak miring agar mudah di baca oleh penghuni aparteman yang berlalu lalang.
Makanan, bakery, laundry, farmasi, laundry lagi, bahkan sebuah bengkel. Roy ingat dua tahun yang lalu deretan ruko ini masih sepi. Hanya ada mini market dan toko roti, namun perekonomian yang berkembang berkat komplek apartemen enam tower ini lambat laun mengubah wajah daerah sekitar. Seperti bunga yang mengundang lebah, demikian juga keramaian penghuni apartemen mengundang para pedagang.
Dari jumlah toko, Roy bisa menebak bahwa bisnis yang paling berkembang di sekitar apartemen ini tentunya adalah bisnis laundry. Sulit untuk menghitung jumlah usaha laundry di sekitar apartemen, saking banyaknya. Dan setau Roy semuanya ramai. Setidaknya hingga saat ini Roy belum melihat ada usaha laundry di dekat apartemen dia yang tutup.
Dua buah ruko yang menyatu masih dalam tahap konstruksi, para pekerjanya masih merekatkan semen dan bata ringan di dalam ruko gandeng itu. Dari pintu depan dan ruangan dalamnya yang dibuat lengang, sepertinya itu adalah bakal restoran. Apapun usaha yang akan di buka sebaiknya bermanfaat bagi warga sekitar. Karena selama beberapa minggu pengerjaannya telah mengganggu penduduk sekitar dengan semen halus dan kapur putih yang melapisi seluruh kendaraan yang parkir di dekat sana.
Kantong plastik, potongan tali rafia, sobekan kertas, daun gugur, semuanya masih beterbangan tertiup angin kencang dari arah apartemen. Dua orang perempuan yang hendak menuju apartemen akhirnya menyerah, mereka ikut membalikkan badan seperti Roy. Dengan tenang berdiri menunggu hingga angin cukup sepoi untuk melanjutkan perjalanan. Mereka berdua tentunya penghuni apartemen juga, sama seperti Roy. Satu hal yang Roy sukai dari daerah ini adalah keamanannya. Seluruh kompleks apartemen dan ruko di sekelilingnya hanya memiliki satu pintu masuk dan keluar yang di jaga 24 jam. Di dalam komplek ini sudah bukan hal aneh melihat anak kecil berumur tujuh tahun yang membawa uang di tangan dan sendirian berjalan kaki membeli sesuatu di deretan ruko itu.
Mungkin Lala juga melakukan itu pada saat tinggal di apartemen Roy. Tunggu, tapi tak mungkin. Perhatian Mia kepada adik- adiknya terlalu besar. Mia tak mungkin membiarkan Lala berjalan sendirian di tempat yang bahkan Mia sendiri merasa asing. Roy menduga- duga sambil menunggu angin mereda. Pikirannya akhirnya kembali hinggap kepada Mia. Sebenarnya apa yang terjadi. Roy membedah pikirannya sendiri, berusaha mengurutkan kejadian demi kejadian yang terakhir dengan Mia. Namun akhirnya bingung sendiri. Karena segalanya di mata dia masih baik- baik saja.
Roy masih ingat, pada pertemuan terakhir Mia masih dengan mata yang basah mengucapkan terima kasih dengan tulus. Itu adalah saat Roy mengantarkan Lala pulang. Sama sekali tidak ada kejanggalan yang dapat membuat Mia berubah sikap. Tidak ada kejadian yang dapat menerangkan perubahan sikap pada Mia. Ini bahkan lebih tak terduga daripada angin. Bahkan angin perlu berhenti bertiup sesaat sebelum berubah arah.
Gulungan debu dan sampah itu akhirnya bergerak melingkar seperti angin puting beliung yang kecil, kemudian semuanya berhenti dan buyar. Sampah- sampah itu perlahan turun ke lantai. Secepat datangnya, secepat itu pula perginya angin.
Roy meneruskan langkahnya kembali ke apartemen. Apartemennya masih seperti sedia kala. Mia dan Lala sama sekali tidak meninggalkan bekas sedikitpun di apartemen ini. Mereka datang dan pergi bagaikan hantu.
Mereka sama sekali tidak meninggalkan jejak yang dapat merepotkan Roy. Kalau bukan memudahkan. Tidak ada pojok ruangan yang berdebu, bahkan kamar mandi disikat hingga bersih. Satu- satunya tanda bahwa mereka pernah ada di sini adalah isi kulkas yang sekarang banyak camilan. Kelihatannya Mia memang sengaja membelikannya. Satu lagi hal yang membuat Roy makin bingung. Mia jelas tidak marah. Apalagi benci, jelas bukan itu. Lantas apa?
Roy menghempaskan diri ke atas sofa. Sendiri tanpa teman bicara dan tak ada yang perlu dilakukan, membuat pikirannya semakin berkelana jauh. Namun sebelum terlalu jauh, dering telepon di apartemennya memecah keheningan dan mengembalikannya ke dunia nyata.