Dinding putih dengan sinar lampu yang juga putih tidak mampu membuat pendangan Roy menjadi terang. Angin sejuk dari pendingin ruangan tidak cukup untuk menyejukkan hatinya. Sofa hitam yang dia duduki telah tenggelam mencetak seluruh lekuk tubuhnya, berjam- jam dia duduk tidak bergerak di sana. Televisi yang menyala menayangkan berita mengenai perekonomian yang sedang lesu, sang reporter dengan penuh semangat menginformasikan berbagai upaya pemerintah untuk mendorong perekonomian. Berbagai paket stimulus dibacakan, dengan para pembicara yang pakar di sediakan untuk berbincang dan berpendapat.
Namun tidak ada satu katapun yang masuk ke dalam telinga Roy. Matanya terbuka lebar, namun yang terlihat adalah yang jauh di dalam relung hati. Kuping sepenuhnya waspada, namun yang terdengar adalah kata demi kata yang terus berputar di dalam pikirannya.
Inikah akhir ceritanya? Apakah memang harus berakhir seperti ini? Tidak adakah sesuatu jalan yang dapat aku lakukan untuk memperjuangkan kehidupannya? Apakah yang sedang kuhadapi ini nyata? Atau fiksi? Tuhan, tolong bangunkan aku.
Suara- suara itu terus berseliweran di dalam pikiran Roy. Saling membantah, saling meyakinkan. Menutup mata akan melihat Mia, membuka mata akan mendengar kata- kata Mia.
Mia tidak pernah memiliki pilihan dalam hidup. Tapi Mia berusaha keras agar adik- adik Mia memiliki banyak pilihan. Mia mungkin tak bisa memberikan semua yang dibutuhkan adik- adik Mia, tapi Mia sudah memberikan semua yang Mia punya.
Bagi Teteh, tidak ada yang lebih penting daripada kamu dan Lala. Suatu kamu akan mengerti semua itu.
Semakin banyak kata- kata yang terdengar, semakin menunduk kepala Roy. Dia berusia 28 tahun, dan sebagai anak sulung dia menganut slogan boys don’t cry. Namun saat ini dia tidak dapat menghentikan air mata yang mengalir di pipi dan menetes membasahi bajunya. Air mata pertama setelah entah berapa belas tahun.
Diam semakin membuat dia tertekan, namun tubuh tak ingin bergerak. Sementara pikirannya tak tertahankan menjelajah ke seluruh pelosok ruang di dalam kepala, membuka seluruh sel neuron dan menangkap ingatan yang bermunculan. Bagaikan membuka folder di hard disk komputer.
Roy sekarang bahkan tak merasa pantas untuk membuat cerita mengenai Mia. Roy selama ini menulis adalah untuk karirnya, dan Mia berjuang adalah murni demi orang lain. Mia jelas telah mengetahui ini sejak lama. Namun dia menjalani takdir buruknya dengan senyum cemerlang yang senantiasa hadir di bibirnya. Di dalam hidupnya yang penuh dengan kegelapan, Mia masih bersinar cemerlang untuk menerangi sekitarnya. Malam bagaikan rembulan, siang bagaikan matahari. Tak pernah berhenti bersinar.
Mia tentunya sadar, dia tidak memiliki masa depan. Dia mungkin telah lama berhenti berharap, mungkin jatah air mata untuk dirinya sendiri telah lama dia habiskan. Dia tidak lagi menangis untuk dirinya sendiri, dan dia telah membunuh harapan untuk dirinya sendiri. Dia mengalihkan seluruh motivasi hidupnya demi masa depan kedua adiknya. Kebahagiaan hidupnya adalah saat melihat kedua adiknya meraih pencapaian demi pencapaian. Maka dia merasa demikian hancur pada saat melihat Rani salah jalan. Seolah tujuan hidupnya menghilang dan seluruh kesulitan hidup yang telah dia jalani menjadi sia- sia.
Malam itu Roy hanya berguling sana sini. Tubuhnya di atas kasur namun pikiran berkeliaran, mata terpejam namun sangat banyak yang terlihat. Samar- samar dia mulai dapat menduga mengapa Mia mendadak menjauh. Roy sekarang sadar, Mia menjauh mungkin dengan menyimpan dalam- dalam tangisan di dalam hati. Bagaikan kapal yang harus mengangkat sauh karena sadar tak bisa berlabuh cukup lama.
Roy masih memejamkan mata. Sebuah pemikiran menggelayut tak mau pergi dari kepalanya. Jika kapal itu memang harus berlayar tanpa tujuan hingga tiba masanya, maka sebaiknya pelayaran itu dibuat indah dan mengesankan.
***
Untuk sekali ini, Roy mengadakan persiapan yang matang sebelum menyusul Mia ke kampungnya. Tidak ada cara yang lebih tepat untuk menyenangkan Mia selain dengan cara menyenangkan adik- adiknya. Tidak ada rencana, juga tidak ada target. Roy hanya melakukan sesuai dengan kata hatinya. Tidak untuk artikel, juga tidak untuk berlibur. Singkatnya, Roy melakukannya seperti kaki yang otomatis melangkah ke tempat tidur saat mengantuk, seperti tangan yang otomatis menyuapkan sendok saat lapar.
Roy memantapkan hatinya. Untuk beberapa waktu kedepan, yang ingin dia lakukan adalah mematuhi apa kata hati nuraninya. Tidak ada kewajiban apapun, tidak ada peraturan yang harus ia ikuti, selain kata hati kecilnya. Sebuah suara kecil yang hanya terdengar pada saat hening menyelimuti.
Perjalanan yang membawanya ke kampung Mia terasa semakin jauh ketika dilakukan seorang diri. Sepanjang jalan pikirannya terasa penuh. Telah berhari- hari dia tidak dapat berhenti untuk berpikir, tanpa menemukan jawaban dan solusi. Yang muncul hanya ilusi.
Jalan setapak yang akan membawa dia menuju rumah Mia terasa beguncang lebih keras dari biasanya, namun tidak cukup untuk mengguncang keluar seluruh beban yang telah memberatkan pikirannya selama berhari- hari. Roy tak pernah menghadapi tantangan seberat ini. Bagaimana caranya tersenyum seolah tidak terjadi apapun.
Cukup banyak yang telah Roy rasakan di usianya yang telah dewasa. Namun dia belum pernah belajar untuk bersikap setenang air di kolam saat angin kencang yang dapat mencabut pohon dari akarnya datang bertiup. Bagaimana cara tersenyum dengan sejuk bagaikan bulan sabit di malam yang cerah, di tengah topan dan badai yang dapat meluluh lantakkan seluruh mimpi dan asa. Hanya Mia yang tahu caranya.
Ketika dia berbelok masuk ke dalam pekarangan yang di penuhi sekar wangi, bahkan sebelum turun dari mobil dia telah melihat wajah teduh itu berjalan perlahan keluar dari pintu rumah. Wajah yang putih bersih seperti bulan purnama, tenang dan menyejukkan bagaikan embun pagi. Mia berdiri diam dan memperhatikan mobil Roy mengatur posisi hingga terparkir dengan sempurna. Tidak ada kemarahan, apalagi penolakan. Ekspresi wajah itu lebih mendekati keheranan.
Pada saat Roy turun dari mobil, tanpa terduga ada bantuan kecil datang menghampiri untuk mencairkan suasana. Lala berlari kecil mendekat, wajahnya tersenyum cerah seperti saat berlarian di dunia fantasi. Lala tidak mencium tangan Roy, namun merentangkan tangan dan membiarkan Roy mengangkatnya tinggi- tinggi. Lala seperti sedang menyambut kedatangan Abang kandungnya sendiri.
“Om Roy, Lala mau minta maaf.”
“Eh? Maaf untuk apaan?” Roy keheranan mendengar kata Lala.
“Waktu itu Lala belum bilang terima kasih, tapi Om Roy sudah pulang.”
Di kala Roy berperang dalam batin untuk memenangkan sebuah senyuman untuk di tampilkan di depan Mia, Lala datang memberikan bantuan. Sebuah senyum tak tertahankan mengembang di wajah Roy.
“Gak perlu. Tapi Lala harus bilang terima kasih kepada Teteh Mia. Lala harus selalu ingat kata- kata Teteh Mia, dan menurut sama dia.”