Matahari masih cukup tinggi, masih terlalu jauh untuk disebut senja. Bayangan pohon cemara yang manaungi membuat tempat duduk mereka terasa sejuk. Angin yang bertiup sepoi- sepoi menambahkan kesejukan tempat duduk mereka, di atas sebatang akar pohon yang paling besar di bawah pohon cemara itu. Keluarga angsa berkumpul di tepian danau, seperti merasakan aura kesedihan yang memancar keluar dari diri Mia. Para angsa itu diam, tanpa suara berkoak, juga tidak banyak bergerak. Berdiri berkerumun di samping tonggak yang dulu merupakan tempat menambat perahu almarhum Ayah Mia.
Daun- daun yang gugur bertebaran di sekeliling pohon, beberapa helai telah hampir habis membusuk di atas tanah. Pada akhirnya akan menghilang sepenuhnya dan kembali menyatu dengan tanah, kemudian menumbuhkan lagi tunas- tunas baru yang akan siap untuk menyangga tetesan embun di pagi hari dengan cabang rantingnya yang lemah namun takkan menyerah untuk terus tumbuh. Hingga tiba saatnya untuk kembali menjadi tanah.
Pohon- pohon cemara, kawanan angsa di tepian waduk, dan ikan di dalam waduk, seandainya semua hanya berkeluh kesah maka tidak akan ada yang merasakan hidup ini berarti. Semua pada waktunya akan berakhir, dan tidak ada yang tahu panjang atau pendeknya waktu yang diberikan.
Umur panjang belum tentu berarti menikmati hidup. Umur pendek bukan berarti tak menikmati hidup. Burung gereja yang bersarang di atas pohon cemara di pinggiran waduk ini, memiliki umur yang maksimal hanya tiga tahun. Namun kisah hidupnya jauh lebih berwarna dibandingkan dengan seekor elang yang dapat hidup hingga dua puluh tahun, namun di dalam kebun binatang.
Mia masih menangis, bendungan di dalam hatinya pecah berantakan. Mungkin bahkan dia sendiripun tidak sadar bahwa selama ini sesungguhnya ada kerinduan untuk menceritakan semua ini kepada seseorang. Dia tidak pernah memiliki teman bicara mengenai hal ini, di kampung kecilnya penyakit ini adalah aib besar. Dan dapat mengakibatkan adik- adiknya diusir dari kampung. Maka dia sangat merahasiakan ini. Di kota besar, jika penyakitnya diketahui orang, dia mungkin juga tidak akan diterima bekerja. Meskipun dia sendiri sangat menjaga agar tidak ada yang tertular virus ini olehnya.
Seluruh penderitaan batin ini telah di derita olehnya sejak masih berusia tujuh belas tahun. Saat ia ingin mendonorkan darah, seorang perawat memanggilnya dan dengan penuh keprihatinan mengatakan bahwa dia memiliki virus ini di tubuh, yang entah sejak kapan adanya.
Air matanya telah habis sejak umur tujuh belas tahun, tangisan tidak lagi dapat menyuarakan isi hatinya. Dia sudah lama tidak menangis untuk dirinya sendiri. Satu- satunya hiburan baginya adalah kala melihat kedua adiknya tumbuh besar. Bagi Mia, kedua adiknya adalah satu- satunya kepingan kisah hidup yang masih dapat ia banggakan. Bertahun- tahun ia hidup dengan pasrah, tidak lagi peduli kepada dirinya sendiri, dan sepenuhnya hanya hidup demi kedua adiknya. Dia merasa telah menerima ketukan palu dari langit yang akan segera mengirimkan malaikat maut untuk menjemput, dan dia tidak ingin memberikan perlawanan. Botol demi botol minuman keras yang seharusnya untuk menyenangkan tamu sempat dia jadikan jalan keluar dari masalahnya yang terlalu besar untuk diatasi seorang bocah berumur tujuh belas tahun.
Kemudian dia membaca di sebuah artikel majalah dokter, bahwa pikiran positif dapat membantu tubuh melawan penyakit, maka dia banyak membeli buku- buku berbobot mengenai pengembangan diri. Dan ternyata buku- buku tersebut berhasil menumbuhkan lagi semangat hidupnya. Buku- buku itu berhasil mengubah dia menjadi kepribadian yang banyak tersenyum. Sejak saat itu dia mulai lebih menjaga diri, meskipun sudah terlambat.
Roy dapat menduga, mengapa Mia akhir- akhir ini selalu mengenakan baju lengan panjang. Namun Roy belum mempersiapkan mental untuk menyelidiki apa yang ditutupi oleh lengan panjang tersebut. Berhari- hari dia mempersiapkan mental untuk hal yang terburuk, namun tidak untuk melihat prosesnya.
Mia masih duduk dan terisak, tangannya memeluk erat- erat lengan kiri Roy, kepalanya dibenamkan ke bahu Roy. Seperti anak kecil yang sedang mendapatkan perlindungan seorang ayah. Rambut panjangnya agak berantakan oleh tiupan angin dan basah air mata. Roy diam, dan mendengarkan Mia bercerita perlahan sambil terisak mengenai awal mula dari kisah tragisnya. Jika yang dialami oleh Mia ini adalah hukuman, maka bagi Roy hukuman ini terlihat terlalu keras.
Mia sedikitpun tidak salah ketika mengatakan bahwa dia tidak pernah memiliki pilihan selama hidupnya. Dia selalu hanya memiliki satu jalan, dan satu- satunya jalan itulah yang dijalaninya dengan penuh duka namun memberikan banyak kesenangan kepada kedua adiknya.
“Mas harus hati- hati. Jaga jarak kalau Mia berdarah. Mia tidak ingin menularkan siapapun, terutama Mas Roy dan adik- adik Mia.” Mia berkata perlahan. Dia tetap menyandarkan kepalanya ke bahu Roy, seperti tidak ingin ditegakkan.
“Aku tahu. Aku seharian mempelajari semuanya, dan tahu bagaimana virus ini menular. Aku tahu mana yang bahaya yang mana yang tidak. Mia, menangislah sampai selesai. Mulai besok aku tidak ingin melihat kamu menangis lagi. Kita akan menikmati hidup seolah tiada hari esok, dan kamu akan banyak melakukan hal- hal pertama dalam hidupmu.” Kata Roy dengan penuh tekad.
Mia kembali menangis mendengar kata- kata itu, dia semakin erat memeluk lengan Roy dan semakin dalam menenggelamkan wajahnya di bahu Roy.
“Seharusnya Mas jangan bersikap seperti ini. Mia sekarang semakin tidak ikhlas Mas. Mia semakin sedih. Untuk apa memilih Mia, di luar sana banyak yang lebih baik, yang lebih pantas, dan bisa bersanding dengan Mas Roy untuk waktu yang sangat lama. Bagi Mia, cukup sudah asalkan cerita mengenai Mia bisa bertahan lama. Setidaknya dunia ini menyadari bahwa Mia pernah ada.”
“Dalam hidup ini kadang kita tidak memilih Mia. Sama seperti kamu yang tidak memilih untuk menjadi kamu yang sekarang. Aku tidak memilih kamu, namun aku menemukan kamu. Dan aku suka.”
“Kenapa?” Tanya Mia.
Aku juga tidak tahu kenapa Mia. Tapi satu hal yang pasti, aku tidak bisa tidak peduli terhadap kamu. Hanya itu yang aku tahu. Apapun yang terjadi kepada kamu, akan menjadi urusanku juga. Tak usah tanya kenapa, karena aku sendiri tidak punya jawabannya. Cukup jawab iya, setelah itu biar waktu yang membawa kita berdua menemukan jawabannya.” Kata Roy sambil mengelus kepala Mia. Samar- samar tercium wangi aroma apel dari rambut Mia, bercampur dengan aroma biji cemara yang berserakan di sekitar mereka. Wangi semerbak itu menyatu bagaikan air dengan madu, menimbulkan aroma kesegaran yang harmonis antara alam dengan bahan kimia pelembab rambut yang digunakan Mia.
Perlahan, matahari mulai terlihat berkurang cahayanya. Tidak lagi menyilaukan seperti tadi, namun masih berwarna putih. Seperti surutnya sinar yang menyilaukan, air mata Mia juga sudah mulai berhenti. Hanya sesekali terdengar suara napas yang agak keras, masih tersumbat ingus akibat tangisan. Dia masih memegangi lengan Roy, kepalanya tidak berubah, tetap bersandar di bahu Roy.
Tidak ada yang berubah pada matahari, air waduk, pohon cemara, atau angsa- angsa. Semuanya masih sama, namun Mia merasa seluruh dunianya berubah. Yang dulu dia hadapi seorang diri, sekarang dapat dia hadapi berdua.