Setidaknya sekarang Roy bisa parkir tepat di depan kosan Mia. Jalan di depannya cukup besar untuk parkir mobil. Di seberang kos terlihat sebuah gerobak coklat penjual bakmi. Tidak seperti gerobak lain yang terkesan kusam, gerobak yang satu ini cukup unik. Warna coklat pada gerobaknya adalah coklat kekuningan seperti serbuk kayu. Dilapisi varnish hingga mengkilap dan memberikan kesan bersih.
Dua orang perempuan duduk di kursi plastik yang disediakan oleh penjaja bakmi, mereka berbincang dengan keras mengenai pesta semalam dan seberapa mabuk mereka setelah meneguk minuman beralkohol bergalon- galon. Mereka masing- masing pamer siapa kemarin malam yang tengkurap lebih datar dengan bumi, dan seberapa tinggi mereka terbang saat buih alkohol menendang kepala. Mereka berbincang dengan keras seolah semua orang akan mengerti dan senang mendengar cerita mereka.
Tidak jauh dari kedua perempuan itu, sebuah pagar berwarna biru yang menjaga rumah dua lantai berwarna putih digeser terbuka. Kembali dua orang perempuan dengan pakaian yang simpel, pakian yang irit bahan, berjalan keluar dengan santai. Pertanda sehari- hari mereka memang seperti itu. Keduanya berjalan berdampingan namun hening tanpa suara, tidak ada tegur sapa. Dengan mata terpaku pada layar ponsel mereka masing- masing. Jangan- jangan jalan kaki pake GPS? Sampai sedemikiannya melotot ke layar.
Jalanan di sana cukup lebar untuk di lewati dua mobil yang berpapasan tanpa perlu memelankan kendaraan. Beberapa meter dari tempat kos Mia, ada tiang listrik, atau entah apa. Bisa juga di sebut pinang yang biasa dipanjat saat agustusan, namun yang ini agak miring seperti menara pisa. Kabel yang dililitkan di atasnya tampak kusut bagaikan sarang burung. Pokoknya asal jangan terlepas dan jatuh.
Jauh di depan, dekat dengan kelokan jalan, sebatang pohon beringin yang besar tampak mencuat keluar dari batas trotoar. Separuh batang terlihat memenuhi jalan di depannya, tentu menyulitkan bagi siapapun untuk berbelok di sana. Untungnya Roy tidak perlu berkendara hingga ke titik belokan itu. Jalan besar ada di sisi sebaliknya dari pohon beringin itu.
Namun bukan pohon yang menjadi perhatian Roy. Yang tetap terasa gatal di kuping Roy adalah suara yang bagaikan knalpot racing dari dua orang perempuan di kedai bakmi tadi. Lokasi kos memang Mia berubah, namun ekosistemnya kok sama? Tidak sama betul memang, namun jelas tidak banyak berbeda.
Roy bertanya- tanya dalam hati sambil mengikuti langkah kaki Mia yang sedang membuka pintu gerbang ruko tempat kos nya. Sebuah lorong di lantai bawah mereka lalui, kemudian ke lantai berikutnya. Di sanalah kamar Mia, di lantai dua. Semuanya menjadi jelas saat Mia membuka pintu kamar. Memang berbeda, terang sinar matahari seperti masuk ke dalam kamar tanpa penghalang. Membuat seluruh kamar itu terlihat penuh dengan cahaya, memberi kesan segar dan aman. Dan luasnya kamar itu memang cukup untuk menampung mereka, tiga bersaudari itu sekaligus.
Namun tetap saja Roy menggeleng. Bibir Mia mencuat melihat kepala Roy yang menggeleng.
“Kenapa lagi Mas? Masa seperti ini gak boleh untuk nampung Rani dan Lala?”
“Mia, betul kamar ini besar. Betul bahwa jalan masuk ke sini juga kelihatannya lebih aman dan nyaman. Tapi kamu lihat orang- orang yang tinggal di sekitar. Komunitasnya sama saja dengan tempat kamu yang dulu. Tetap saja kamu akan memiliki resiko kedua adik kamu terkena pengaruh buruk.”
“Pasti gara- gara itu dua orang yang tadi makan bakmi. Suaranya keras- keras bikin rusak rencana.”Mia pura- pura marah. Mulutnya cemberut namun matanya tersenyum.
Roy menghempaskan diri ke atas kasur. Harus dia akui, kasurnya juga jauh lebih enak ditiduri. Namun tetap saja, kasur hanyalah kasur. Apapun kasurnya tidak akan mengubah masa depan seseorang. Beda cerita kalau lingkungan, lingkungan dapat menentukan perubahan karakter pada seseorang, yang dengan sendirinya juga akan mengubah masa depan seseorang. Roy paham betul mengenai itu. Dan dia tidak akan mengijinkan Rani maupun Lala mengambil resiko seperti itu.
“Makasih deh. Kasurnya lebih enak untuk ditidurin. Kamu dan adik- adikmu tetap di apartemen.” Kata Roy sambil tersenyum. Dia menyalakan televisi yang terpasang di kaki ranjang, posisi yang sangat pas bagi siapapun untuk selonjor di atas ranjang bermalas- malasan sambil nonton tv. Asik juga kalau ada siaran bola. Dinding di samping ranjang kembali berjajar dengan stiker landmark dunia, telah bertambah satu dengan landmark menara Petronas, Kuala Lumpur. Tumpukan buku Mia sekarang di letakkan berjajar di atas sebuah papan yang menempel di dinding, yang memang dikhususkan untuk meletakkan buku.