Tempat yang mereka datangi pada saat mengajak Rani tamasya hampir sama dengan saat membawa Lala. Sebagai pusat industri dan politik, Jakarta memang tidak menawarkan terlalu banyak pilihan dalam hal tamasya.
Hanya saja kali ini mereka lebih banyak ke tempat- tempat dengan taman dan ruang terbuka yang menawarkan keindahan alami. Tidak lagi keluar masuk pusat perbelanjaan dan tempat gaul khas orang Ibukota.
Ketiga bersaudari itu, termasuk Mia, hampir tak berkedip ketika menaiki kereta gantung di Taman Mini yang membawa mereka menjelajah seluruh area rekreasi tersebut. Mereka melihat taman demi taman yang sangat indah dan tak terhitung banyaknya. Bangunan adat dari seluruh suku di Indonesia yang selama ini hanya mereka lihat di buku pelajaran, segala macam museum yang berjajar rapi dengan bentuk bangunannya yang unik, keong mas yang memang seperti keong, seluruh tempat ibadah untuk agama resmi di Indonesia, wahana air, dan sebuah danau dengan pulau- pulau miniatur tanah air.
Lala berontak keras ketika mereka kembali menginjak tanah, dengan penuh semangat meraih sepeda sewaan dan mulai berbantahan dengan Teteh Rani mengenai tempat mana duluan yang ingin mereka datangi seusai melihat semuanya dari kereta gantung. Akhirnya mereka memutuskan untuk terlebih dahulu menjelajahi danau miniatur dengan perahu, dan merasakan sensasi mengelilingi nusantara meskipun hanya miniaturnya. Ikan- ikan di bawah sampan menjadi hiburan tersendiri, karena semua mendekat saat mereka meletakkan tangan di air. Jinak seperti kucing.
Mia yang mulai belajar berkerudung seperti Rani, tersenyum sepanjang sampan membelah air. Mendengar bunyi dayung yang berkecipak ketika diturunkan dan diangkat dari air, angannya terbang ke tepian waduk tempat mereka biasa menikmati senja di kampungnya.
“Dulu setiap hari melihat Ayah naik sampan. Namun baru kali ini benar- benar naik sampan.” Mia berbisik di samping Roy.
“Kita berdua akan banyak melakukan pengalaman pertama.” Roy membalas dengan bergumam perlahan. Meski dengan hati perih, dia merekam baik- baik setiap inci yang mereka lalui. Setiap detik yang mereka lewati, setiap tarikan napas terasa bagaikan anugerah yang luar biasa dari yang Maha Kuasa.
Kerudung yang di kenakan oleh Mia tidak menghalangi wangi khas buah apel yang memancar keluar, terbawa angin sepoi- sepoi dan memenuhi rongga dada. Seandainya ada alat yang dapat menangkap dan menyimpan wangi, Roy akan segera membelinya. Karena wangi tidak dapat di abadikan seperti tulisan dibuku, atau seperti menyimpan foto di galeri. Sulit juga untuk di ulang yang sama persis, karena wangi tidak dapat di hapal seperti buku pelajaran sekolah. Wangi itu hanya dapat dinikmati saat dia ada, dan di masa depan hanya akan menjadi kenangan dengan keterangan ‘wangi yang tiada duanya’.
Hari itu awan tebal menutupi matahari, namun awan itu putih, tidak bisa disebut mendung. Seolah sengaja diciptakan agar mereka dapat leluasa bersepeda ke seluruh area taman tanpa perlu mengeluarkan keringat barang setetespun. Mereka bersepeda dengan santai, menikmati setiap detik dengan senyuman, ratusan kupu- kupu memukau mereka ketika melewati sebuah taman bunga yang entah apa namanya. Bunga itu merah dan putih seperti warna bendera, namun bukan mawar dan anggrek. Menebarkan wangi seperti serai wangi di depan pekarangan rumah Mia di kampung.
Mereka berhenti agak lama, kemudian ketiga saudari itu mulai gegap gempita melihat taman yang luasnya berlipat ganda pekarangan mereka di kampung, namun terasa seperti pekarangan mereka pribadi karena tak ada seorangpun sejauh mata memandang. Mia dengan kerudung putihnya terlihat menyatu dengan bunga- bunga putih itu. Bibir merahnya yang tersenyum manis mengalahkan kecantikan bunga di sekitarnya. Wajahnya yang putih bersinar mengalahkan cahaya matahari yang mengintip dari balik awan. Matanya yang berbinar terlihat bagaikan embun pagi di kelopak bunga. Mereka mengabadikan momen berharga itu dengan belasan foto yang menangkap seluruh taman dengan latar belakang berbagai gedung budaya. Dan bagi Roy, yang terutama adalah mengabadikan Mia dalam puncak kebahagiaannya.
Mia yang tertawa senang tanpa beban, kedua lengannya di rentangkan merangkul kedua adik kesayangannya. Percakapan mereka bertiga berlompatan di dalam sebuah ranah yang hanya akan dimengerti oleh mereka bertiga. Bukan karena mereka merahasiakan, namun karena jalan kehidupan yang mereka lalui memang penuh dengan cerita yang hanya dapat dimengerti oleh mereka bertiga. Mereka bagaikan spesis baru kupu- kupu tanpa sayap yang ingin ikut merasakan serbuk sari di dalam kelopak bunga di sekeliling mereka. Kupu- kupu di sekitarnya sepertinya menerima saja kehadiran mereka, sama sekali tidak terbang berhamburan dan menjauh ketika mereka melihat dari dekat segala macam kupu- kupu yang sangat beragam itu. Ada yang bersayap biru bagaikan warna langit, ada kuning jeruk bagaikan cahaya senja. Ada yang hijau dan berkilau seperti stiker posfor di kamar Mia, berbagai macam. Sejam mereka lalui di taman yang mereka sebut taman kupu- kupu itu.
Menjelang siang mereka menemukan tempat mengisi lambung yang sangat resik, dengan hanya beratapkan jerami seperti gubuk di tengah sawah. Namun ukurannya besar, dan di satu sisi menghadap ke sebuah taman yang luas dengan rerumputan yang hijau menyegarkan mata. Rumah makan khas sunda, dengan suasana yang sangat alami dengan meja pendek sebagai meja makan lesehan. Terasa seperti piknik di tengah kebun yang luas, dengan warna langit yang abu- abu seolah sedang di pegunungan yang berkabut.
Lala tidak bertahan lama duduk lesehan di meja makan. Dia menghabiskan makanannya seperti sedang berlomba dengan waktu. Kemudian berlari ke taman yang lengang dengan hanya beberapa pasangan yang berjauhan, rumput hijau itu terlalu mengundang kaki untuk berlari di atasnya, dan sapuan sinar matahari yang lembut tertutup awan sangat teduh. Cukup untuk menerangkan namun kurang untuk membakar kulit. Tak lama kemudian Rani ikut berlari menyusul Lala, tidak mau ketinggalan. Apalah artinya makanan dibandingkan menbangun kenangan di sebuah tempat yang seindah ini.
“Hari ini berapa banyak pengalaman pertama yang kamu lakukan?” Tanya Roy sambil mengelus kepala Mia yang bertengger di lututnya yang terlipat.
“Banyak. Masuk taman mini, naik perahu, naik kereta gantung, melihat rumah adat, bahkan makan di rumah makan ini juga pengalaman pertama.” jawab Mia.