Membingkai Kata

rudy
Chapter #20

Bab 19 Sepanjang Jalan

 

Suara berdesing yang berasal dari dua mesin jet di bawah sayap mulai terdengar semakin tajam. Bahkan dari suaranya dapat dibayangkan turbin yang berputar semakin cepat dalam mengalirkan udara ke dalam ruang pembakaran, suara itu mengecil namun semakin tajam menusuk gendang telinga. Pesawat bergetar ketika memutar moncong. Layar jendela bagaikan kamera yang berganti posisi, secara perlahan menampilkan gedung terminal, menara pengawas, kemudian lapangan luas di samping landasan pacu yang dikosongkan demi keamanan. Getaran semakin terasa saat pesawat menguji landasan pacu dengan beberapa putaran roda yang perlahan, sebelum jet turbo membuka penuh saluran yang menghembuskan angin dengan kekuatan 28.000 hp. Diiringi suara dentuman kecil ketika angin bertemu angin, burung besi dengan berat puluhan ton itu mulai berpacu melawan angin. Seluruh benda padat di dalam kabin tersentak kebelakang ketika jet turbo itu mulai berakselerasi. Semakin cepat dia berpacu semakin keras angin dari depan, hingga di satu titik saking kerasnya angin dari depan mengangkat moncong pesawat itu ke atas. Turbin jet berputar makin cepat, bertarung melawan hukum newton, membawa burung besi itu mengudara. Mendaki angin dan menusuk awan.

 

Mia tak berkedip menatap melalui layar jendela, menikmati semua yang dapat terlihat dari layar jendela kecil itu. Beberapa gedung yang dia kenali sekarang kelihatan tidak lebih besar dari kotak korek api, jalanan besar Ibu kota tidak lebih besar dari batang jarum, nyaris tak terlihat. Hingga pada akhirnya yang terlihat hanyalah daratan, lautan, dan awan. Sekecil itulah manusia di mata alam, tak terlihat sama sekali. Seperti bakteri di tubuh manusia.

 

 

Getaran itu terasa mengguncang jiwa, ketika melihat Mia menundukkan kepala dan dengan mata yang teduh mencium punggung tangan orang tua Roy. Roy tahu, seperti apa kelihatannya di mata kedua orang tuanya ketika dia singgah ke kampung halaman dengan membawa Mia, yang cantik dan tutur katanya halus dan sopan khas orang sunda.

 

Mata Ibunya bersinar terang, memantulkan cahaya putih dari lampu pijar yang berderet di atas plafon. Khas toko kelontong milik keluarga yang telah berusia hampir setengah abad. Alangkah tingginya angan yang diberikan oleh Roy saat mengenalkan Mia kepada keluarga, meski tanpa berucap sepatah katapun. Roy tersenyum pada saat melihat Ibunya melarang Mia memanggil tante. Mia wajib memanggil Mama, seperti cara Roy memanggil. Ibunya juga membiarkan Mia berdiri dan membantu menjaga toko yang secara sejarah hanya pernah dijaga oleh anggota keluarga. Ibunya bagaikan pemandu wisata yang berjalan mendahului saat Mia hendak numpang ke kamar mandi, seolah takut Mia tersesat di dalam rumah dua tingkat yang hanya ada tiga kamar itu. Ayahnya mengenakan kemeja batiknya yang terbaik saat membawa dia dan Mia menikmati ikan patin bakar khas samarinda. Hanya adiknya yang masih santai dan bersikap seperti biasa.

 

Celana denim separuh lutut yang berwarna butek, dengan sedikit sobekan, masih setia menemani hari- harinya. Tawanya yang khas penduduk kalimantan timur masih membahana dan menggelegar. Tertawa yang bebas lepas dan hanya dapat disaingi oleh toa masjid. 

 

“Eh, Loy. Masih ingat jalan pulang? “ Canda Koh Aciang, pedagang nasi campur yang letaknya tepat di seberang toko kelontong mereka. Koh Aciang masih belum berubah, hingga saat ini masih belum bisa mengucap ‘r’. Koh Aciang memiliki satu anak lelaki dan satu anak perempuan yang sekarang telah pindah dari Samarinda. Dia bilang, yang pelempuan sudah melit di balik papan, dan Malko kelja di sulabaya, gak bisa main bola lagi.

 

Kedua anaknya yang berumur sepantaran dengan Roy dan adiknya, adalah teman bermain mereka sejak masih bocah. Sejak ingus masih dilap dengan ujung baju. Bermain hujan bersama hingga jauh ke pelosok yang hanya bisa dilewati oleh kambing dan rusa, hingga merepotkan seluruh kelurahan yang mengira mereka hilang diculik dedemit. Marco, anak lelakinya yang sulung, adalah salah satu yang kakinya paling sering ditendang oleh Roy saat mereka bermain bola di atas lapangan berlumpur di belakang rumah. Sekarang lapangan berlumpur itu telah berubah menjadi tempat kursus bahasa Inggris. Membuat Roy agak sedih ketika mengingat lapangan yang hampir lima belas tahun menjadi bagian dari hidupnya, yang turut membangun karakternya menjadi Roy yang sekarang.

 

Di lapangan berlumpur itulah Roy belajar mengenai toleransi. Di lingkungan kelurahannya, mayoritasnya adalah orang melayu seperti Roy yang mencakup sekitar lima puluh persen. Sisanya adalah orang dayak yang penduduk asli dan keturunan Tionghoa yang saling berbagi 25%. Pada masa kecil, lapangan berlumpur ini adalah taman bermain mereka. Pada saat hujan lebat dan lumpur menebal, mereka meniru smack down yang mereka lihat di layar kaca. Tak peduli apapun warna kulitnya saat datang, mereka selalu pulang dengan warna yang sama, coklat. Berjalan pulang ke rumah masing- masing dalam keadaan lebih kotor dari babi hutan. Bermain badminton di musim panas, saat lumpur di lapangan mengering. Belajar bermain gasing, kelereng, dan petasan yang sengaja di benamkan kedalam lumpur. Ketika meledak, lumpurnya mengotori hingga ke atap rumah dan mengundang amukan seluruh warga sekitar. Lapangan kecil itu menyimpan sangat banyak sejarah lucu bagi penduduk sekitar yang memiliki umur sepantaran Roy. Pada masanya, mereka semua yang sepantaran pasti bermain di lapangan itu. Semuanya saling mengenal.

 

Namun, sayangnya hanya lapangan itu yang berubah. Sejauh mata memandang, setelah meninggalkan kota kelahirannya selama hampir empat tahun, Roy tidak melihat ada yang berubah ke arah yang lebih baik. Yang dulu bersih, sekarang makin kotor, yang dulu kotor sekarang makin kotor. Saluran air di pinggir jalan besar yang menyusuri sungai Mahakam masih penuh dengan sampah yang pasti akan menyumbat jika terjadi hujan besar. Tanggul yang seharusnya dibangun di sepanjang sungai Mahakam hanya telihat kokoh di beberapa bagian.

 

Kapal- kapal tongkang yang memuat batu bara yang siap diexport ke seluruh dunia masih berantai melewati sungai mahakam, menuju kapal tanker di mulut muara yang telah siap menjemput. Tanah Borneo yang berlimpah dengan kekayaan alam ini, memiliki simpanan batu bara yang cukup untuk menyalakan PLTU di seluruh dunia, dan membuat seluruh bumi terang benderang. Masih jutaan hektar tanah yang di bawahnya berupa batu hitam itu masih belum tergali, dengan cadangan milyaran kubik batu hitam yang akan mencukupi hingga dunia menemukan teknologi baru yang lebih canggih untuk menggantikan sumber panas yang semburan asap hitamnya dapat menambah pemanasan global ini.

 

Dan seperti inilah penampakan salah satu tanah yang kaya dengan sumber energi yang di butuhkan seluruh dunia itu. Hanya sepenggal pinggiran sungai mahakam yang diperindah dengan bata merah dan bercamput hot mix di beberapa bagian. Tempat yang sangat kecil jika di bandingkan keseluruhan kota Samarinda, apalagi jika dibandingkan panjangnya sungai Mahakam. Tempat ini diberi nama Taman Tepian. Di sanalah yang menjadi pusat berkumpulnya pelancong yang ingin menyaksikan keindahan sungai Mahakam. Di sisi seberang sungai masih kosong melompong, secuilpun tak ada beton dan sheet pile untuk tanggul pencegah banjir. Hanya tanah lempung yang dipadatkan.

 

Andai para koruptor musnah di tanah air, mungkin penampakan Taman Tepian di pinggir sungai Mahakam ini akan sebanding dengan The Bund di tepi Huangpu River. Tanah Borneo ini kaya, sangat kaya. Namun sayangnya hanya secuil yang menikmati seluruh kekayaan ini.

 

Roy dan Mia duduk di atas undakan beton, kepala Mia bersandar di bahu Roy, puluhan pasangan di sekeliling mereka juga memiliki tingkat kemesraan yang kurang lebih sama. Taman Tepian ini sungguh adalah suatu bentuk diskriminasi yang sangat kejam kepada para jomblo.

 

“Teman aku punya adik punya sahabat punya ipar butuh bantuan, ada sarang burung di atas pohon yang mengganggu pemandangan rumahnya.” Begitu alasan adiknya ketika Roy mengajak ke Taman Tepian. Setelah melihat kondisi taman, Roy memaklumi adiknya.

 

Di seluruh penjuru taman terlihat papan bertuliskan DILARANG BUANG SAMPAH SEMBARANGAN.

 

Dan di seluruh penjuru juga terlihat sampah bertebaran. Sayang sekali. Sepetak tempat yang indah ini harus menanggung beban ke egoisan sebagian orang yang tidak bertanggung jawab. Mungkin mereka menganggap membuang sampah di bawah papan larangan adalah hal kecil yang tak perlu diributkan. Mereka lupa, ada seutas tali merah yang menghubungkan mereka dengan pelanggar hukum lainnya. Pencuri, maling, pelanggar lalu lintas, koruptor, dan mereka yang membuang sampah tidak pada tempatnya, semuanya memiliki dasar pemikiran yang sama. Yaitu yang penting nggak ketahuan. Miskin integritas, sangat miskin.

  

Roy hanya melirik sebentar kepada sampah- sampah yang menyakitkan mata dan hati itu. Matahari yang mulai condong ke barat mulai terlihat bagaikan terbakar api yang kemerahan. Beberapa pasangan yang tadi agak di belakang sekarang mulai bergerak maju, seolah dengan demikian matahari itu akan terlihat lebih besar. Satu pasangan muda dengan seorang anak yang masih usia balita menjadi siluet yang sempurna saat matahari itu berubah kemerahan di ufuk barat. Anaknya yang belum memiliki jiwa seni meronta dan berteriak tidak sabar melihat kedua orang tuanya diam tak bergerak, sementara penjual es lilin mulai menyimpan kembali barang dagangannya. Dan di kejauhan, di seberang sungai Mahakam, terdengar suara adzan yang merambat menyeberangi sungai dan terdengar merdu di telinga.

 

“Jadi inget waktu di waduk.” Kata Mia dengan lirih. Senyum senantiasa menghiasi wajahnya, tak sekalipun senyum itu memudar sejak dia menjejakkan kaki di bumi Borneo. Meskipun tersipu malu saat disambut bagaikan menantu oleh kedua orang tua Roy, namun senyum di wajahnya tak bisa hilang. Mia sendiri tak bisa menghentikan senyum itu, karena dia sendiri tidak sadar bahwa dia terus- terusan tersenyum.

 

Roy tertawa mendengar kata- kata Mia. “Sewaktu pertama kali kamu mengajak aku ke tepian waduk, pada saat itu akupun berkata dalam hati, mirip sekali dengan di Samarinda.”

“Tapi di sini ramai, suasananya hidup. Dan kita bisa duduk sampai malam. Lampunya banyak, terang dan bagus- bagus. ”

“Jajanan juga banyak, tapi kita nggak boleh makan.” Kata Roy sambil memperhatikan deretan tenda dan kaki lima di sepanjang jalan.

Lihat selengkapnya