Foto dengan bingkai segi lima itu masih tetap berada di kepala ranjang Rani. Meskipun sekarang sangat banyak terdapat foto- foto mereka bertiga menemani di sekelilingnya. Pulang dari Jakarta, Rani menghabiskan sebagian besar uang sakunya untuk mencetak foto dari galeri handphonenya, sebagian dia bingkai, sebagian dia tempelkan di dinding. Foto mereka, tiga saudari, yang semuanya sedang bergembira ria, semuanya menjadi penghias dinding kamarnya yang selama ini ditinggali berdua dengan Lala. Bertiga jika Mia sedang pulang kampung.
Kamar yang mereka tinggali sebenarnya adalah kamar utama di rumah ini, oleh mereka di sulap menjadi kamar untuk tiga orang, dengan tiga kasur yang di letakkan di atas lantai. Kamar itu cukup besar untuk mereka, dan meskipun sederhana, sangat bersih karena Rani dan Lala rajin membersihkan seluruh sudut kamar itu. Mereka merawat kamar ini seperti seorang Ibu merawat anak pertama. Hingga satu ekor semutpun tak diijinkan mendekat. Kamar ini juga sama, tak ada sebutir debupun yang boleh ada. Namun mereka tidak melakukan ini dengan suka rela.
Teteh Mia akan marah jika Rani dan Lala tidak rajin membersihkan kamar tidur. Teori Teteh Mia sederhana, jika kamar tidur mu sendiri saja malas kamu bersihkan, bagaimana mungkin kamu akan cukup rajin untuk membersihkan bagian lain dari rumah ini? Maka Teteh Mia akan marah- marah dan merepet selama pulang kampung jika menemukan kotoran di dalam kamar tidur. Rani tahu itu. Dan Rani tidak ingin membuat Tetehnya marah- marah. Rani tahu diri, semua yang mereka miliki sekarang adalah berkat kerja keras tetehnya, yang selalu mendahulukan kepentingan dia dan Lala. Rani diam- diam mengetahui lebih banyak dari yang diduga oleh tetehnya. Rani diam- diam memperhatikan sangat banyak hal, yang oleh tetehnya tidak akan pernah terpikirkan.
Ponsel yang dia pakai sekarang, meskipun sekarang sudah termasuk ketinggalan jaman, namun pada saat tetehnya memberikan masih termasuk salah satu yang paling anyar. Rani bahkan bisa pamer di depan teman- teman sekolahnya. Mungkin tetehnya mengira Rani tidak akan mengerti, padahal Rani mengerti bahwa saat itu ponsel yang diberikan kepada Rani bahkan lebih bagus dibandingkan yang masih digunakan oleh tetehnya sendiri. Maka Rani memberikan perhatian luar biasa kepada ponselnya, bahkan saking takut hilang Rani menjahit kantung tambahan di bagian dalam dari seluruh rok sekolahnya khusus untuk ponselnya, dan juga celana sehari- harinya. Ponsel yang diberikan oleh tetehnya itu, adalah barang paling berharga yang pernah dimiliki oleh Rani.
Rani juga sudah cukup besar untuk mengerti, bahwa tidak mudah bagi tetehnya untuk menanggung beban kehidupan mereka bertiga. Termasuk biaya sekolah, peralatan tulis, buku, dan uang belanja bulanan. Tetehnya bahkan memberikan uang jajan untuk ke sekolah, yang meskipun tidak banyak, namun membuat Rani dan Lala merasa percaya diri, ternyata mereka tidak miskin- miskin amat. Uang jajan itu selalu mereka tabung, sebagai cadangan untuk hal- hal yang di luar rencana. Seperti saat plafon bocor, maka mereka bisa membetulkan sendiri dengan membeli beberapa lembar triplek, atau saat ada kegiatan sekolah yang membutuhkan tambahan biaya, mereka tidak perlu meminta kepada teteh. Rani memiliki banyak teman yang memiliki orang tua yang masih lengkap, dengan hanya satu atau dua anak untuk ditanggung. Itupun orang tua mereka kesulitan untuk menanggung bebannya. Maka Rani sangat tahu, tetehnya pasti telah berusaha dengan sangat keras.
Kampung mereka ini adalah medan pegunungan yang memiliki permukaan naik dan turun seperti bukit- bukit kecil. Sepanjang jalan menuju sekolah, Rani harus melewati tujuh bukit kecil, dia sudah merasakan arti kata pepatah bersakit- sakit dahulu bersenang- senang kemudian dalam arti yang sebenar- benarnya. Bermenit- menit mengayuh sepedanya menanjak dengan terengah- engah, kemudian merasakan sensasi angin sejuk yang menerbangkan rambut panjangnya hingga berkibar bagaikan bendera saat dia meluncur menuruni bukit dengan mata setengah terpejam saking nikmatnya. Menerbangkan angan Rani yang merasa seperti sedang berlibur di tepi pantai. Namun tidak lama kemudian dia kembali harus bekerja keras melatih otot kakinya kala bertemu bukit berikutnya. Begitu terus hingga tujuh kali sebelum tiba di rumah atau sekolah.
Perjalanan terasa semakin menyenangkan saat Lala mulai bersekolah dan dibelikan sepeda juga oleh Teteh Mia. Mereka berdua selalu berbalap riang setiap kali bertemu bukit. Lala selalu kalah karena dia menggunakan sepeda yang lebih kecil, sesuai dengan tubuhnya yang masih kecil. Namun Lala tak pernah kehabisan akal untuk mengalahkan Rani.
“Lala menang. Hosh hosh , Lala udah gowes dua puluh kali teh Lani balu lima belas kali. Hosh hosh.” Begitulah kata Lala yang saat itu masih berusia enam tahun setiap kali mereka mendaki bukit. Yang selalu membuat Rani tertawa geli. Setelah itu mereka akan bersama- sama meluncur menuruni bukit, membelah angin yang sejuk dengan tubuh mereka yang berpeluh.
Rani masih bergembira ria selama beberapa hari, menikmati teman perjalanan barunya yang menggemaskan, hingga saat dia pergi ke desa untuk membeli beras. Toko sembako yang telah berusia puluhan tahun, menjual berbagai macam kebutuhan untuk kampung sekitar. Dari sembako, hingga lampu pijar dan ember. Hari itu Rani tertarik kepada sebuah tas handbag berwarna krem, dengan rantai berwarna perak dan kancing magnet berwarna emas. Dilampirkan di dinding dengan tali yang tergantung di sebuah paku yang mencuat dari dinding. Tas handbag itu tampak mencolok di tengah ember dan gayung plastik di sekelilingnya. Rani tidak asing dengan tas ini.