Membingkai Kata

rudy
Chapter #23

Bab 22 Confession

Waktu bagaikan berhenti. Di dalam kamar tidur mereka, yang menyimpan sejuta kenangan, Mia duduk di kasurnya sambil membelai kepala Rani. Tangisan Rani tidak berhenti, bagaikan bersahutan dengan hujan yang turun dengan derasnya. Langit seperti turut bersedih mendengarkan cerita Mia.

 

Kamar ini, yang hanya berperabot tiga kasur, satu lemari besar, satu rak yang juga berfungsi sebagai meja rias, sebuah boneka beruang milik Lala, dan satu cermin kecil yang hanya seukuran buku novel, di sinilah tersimpan sejuta kenangan mereka bertiga. Semakin Rani mengenang, semakin dia menangis meraung- raung.

 

Konon, kata pertama yang bisa di katakan oleh Rani adalah ‘Ma’. Kata kedua yang dapat Rani ucapkan adalah ‘Teh’. Namun ia sudah lupa wajah Ibunya, juga Ayahnya. Mereka pergi menghadap Yang Maha Esa pada saat daya ingat Rani hanya sekedar bisa membedakan antara orang asing dan tidak asing. Tidak ada kenangan mengenai orangtuanya yang masih tersisa di benak Rani. Namun, kenangannya bersama Teteh Mia melekat bagaikan getah pohon pulut, tersembunyi di dalam sel- sel neuron berwarna abu- abu yang dengan rapih dipintal di dalam jaringan otak. Bagaikan laba- laba yang menggulung mangsa.

 

Sejak memori Rani bekerja dengan baik, yang selalu tertangkap oleh ingatannya adalah peristiwa- peristiwa bersama Mia dan Lala. Pada masa kecilnya, yang paling dominan dalam ingatannya adalah Teteh Mia yang selalu menjaga dia dan adiknya. Pada masa remaja, setelah Teteh Mia merantau, yang paling dominan adalah Lala, mereka selalu berduaan.

 

Di kamar ini, Teteh Mia telah menjaga mereka sejak dia masih berumur sepuluh tahun. Seorang diri, menjaga Rani yang masih berumur empat tahun, dan Lala yang baru lahir. Dengan dibantu seorang Ibu susu yang tak tega melihat Lala yang kehilangan Ibunya sejak lahir. Setelah Lala berusia dua tahun, beberapa tetangga memberikan donasi kepada keluarga mereka yang porak poranda, dari uang donasi itulah Mia membeli susu untuk Lala hingga dia bisa makan makanan padat. Kemudian sebuah kegiatan amal dari masjid di kota sebelah juga memberikan sumbangan. Bertahun- tahun mereka hidup dari sumbangan orang lain. Seluruh orang di desa ini tahu bagaimana sulitnya hidup mereka, hingga masjid desa sebelah ikut mencari sumbangan. Bagaimana cara Tetehnya yang masih berumur sepuluh tahun dapat menjaga dia yang masih berumur empat tahun, dan Lala yang masih hitungan bulan, bagi Rani itu adalah misteri yang bahkan seluruh orang di kampung inipun merasa itu sebagai mukjizat.

 

Rani tidak bisa mengingat dengan jelas saat Lala masih orok, karena pada saat itu Rani pun masih bocah yang kalau tidak dijaga bisa mengunyah tanah dan rumput. Dia baru mulai dapat mengingat semuanya dengan jelas saat menginjak umur tujuh tahun.

 

Saat itu Tetehnya masih berumur dua belas tahun, namun sudah mulai bekerja di sawah untuk menghidupi mereka. Dan Lala masih dua tahun. Masih lucu- lucunya. Saat itu hujan sangat besar, persis seperti sekarang ini. Guntur menggelegar, bersahutan dengan gemuruh angin. Mereka bertiga meringkuk berdekatan di atas satu kasur, dengan Lala berada di tengah. Pintu kamar mereka yang hanya berupa tirai kain ditampar habis- habisan oleh angin kencang yang menerobos masuk melalui jendela dan sela- sela lubang angin. Tirai kain itu melambai- lambai bagaikan ekor ikan gabus di arus deras. Halilintar menyambar bagaikan rentetan tembakan senapan mesin, berulang kali. Dan setiap kali menyambar selalu memutihkan seluruh ruangan kamar tidur yang saat itu masih menggunakan lampu petromaks. Suara ledakan yang terdengar jauh lebih mengerikan dibandingkan petasan saat Idul Fitri terasa sangat dekat, seolah petir itu menyambar ruang makan yang tepat berada di depan kamar tidur mereka. Berulang- ulang, tak henti, dan angin yang bertiup kencang akhirnya merobek sarung lampu di dalam petromaks. Tak lama kemudian kamar tidur mereka gelap sempurna, tanpa penerangan sedikitpun.

 

Rani mulai menangis, dia takut. Alam murka, dunia seperti mendekati kiamat, guntur itu tidak berhenti terdengar, bahkan suara air hujan terdengar bagaikan batu yang dilemparkan ke atas genteng. Angin yang bertiup demikian kencang seolah setiap saat dapat menerbangkan rumah ini, mencabut seluruh dinding dari rangkanya. Guntur bertalu- talu tanpa henti, bersahutan dengan suara gemuruh yang menggetarkan seluruh jiwa Rani. Pada saat itu Rani merasa bahwa hanya masalah waktu hingga rumah ini rubuh dan mengubur mereka semua hidup- hidup. Atau halilintar akan menyambar rumah ini hingga hancur lebur menjadi abu, termasuk mereka bertiga di dalamnya. Mungkin ini cara Tuhan untuk memanggil mereka pulang.

 

Rani menangis, ketakutan, gelap total tanpa melihat apapun, namun gendang telinganya bertubi- tubi digempur dengan suara yang menggetarkan hati dan melemahkan jantung. Kemudian kilat kembali menyambar, sinar putihnya kembali menembus masuk melalui jendela kamar dan memutihkan seluruh kamar. Tepat pada saat itu dia melihat wajah malaikatnya.

 

Teteh Mia berbaring miring menghadap Lala dan Rani. Kedua tangannya mendekap erat kuping Lala. Setengah tubuhnya menutupi Lala, dia senantiasa menjaga Lala yang tetap nyenyak tertidur seolah tidak terjadi apapun. Mia siap membentengi apapun yang mungkin bisa jatuh menimpa Lala.

 

Tepat saat Rani melihat Tetehnya, di saat yang sama Tetehnya juga menatap Rani. Sinar putih cahaya kilat dari luar ruangan itu merekam seluruh wajah tetehnya saat itu. Tetehnya tersenyum tenang sambil memperhatikan Rani, kedua tangannya tak bisa bergerak karena tetap mendekap kedua telinga Lala. Namun mata tetehnya yang berbinar seolah berkata, ‘jangan takut, ada aku.’

 

Ajaib, cahaya kilat yang hanya sedetik memperlihatkan wajah Tetehnya itu melekat di ingatan Rani untuk selama- lamanya. Wajah seorang malaikat penjaga yang tak kenal takut demi kedua adiknya. Yang tidak memikirkan dirinya dan siap beradu nyawa demi menyelamatkan kedua adiknya. Hanya sedetik Rani melihat wajah yang tersenyum itu, dan untuk selama- lamanya Rani tidak pernah lagi takut kepada guntur maupun halilintar. Karena Rani tahu, mereka tidak bisa mengalahkan Tetehnya.

 

Sejak saat itu Rani tahu, betul bahwa dia adalah yatim piatu, namun ada yang melindungi dia seperti orang tua melindungi anaknya.

 

Jika dunia ini adalah sebuah kapal, maka Mia adalah air lautnya bagi Rani.

Jika dunia ini adalah sebuah pesawat, maka Mia adalah udaranya bagi Rani.

Jika dunia ini adalah sebuah gunung, maka Mia adalah tanahnya bagi Rani.

Lihat selengkapnya