Tiga tahun kemudian.
Buku catatan Roy.
Mia, beberapa hari yang lalu ada perempuan di club yang menggoda aku. Sangat murahan, pakaian seronok bagaikan sedang di pantai. Pantul sana dan pantul sini seperti bola pingpong. Ujung- ujungnya menawarkan diri untuk ditukar dengan kertas. Tapi aku bukan aku yang dulu, yang akan dengan kasar mendorongnya menjauh di sertai air muka jijik seperti melihat kotoran di seberang rumah makan tempat pertama kali kita bertemu. Sebaliknya aku minta dia duduk di mejaku, dan mengajak dia berbicara. Sejam, dua jam, hingga dia mabuk dan mulai bercerita. Dia janda anak satu, dan ini adalah musim tahun ajaran baru. Anaknya yang masih usia pertumbuhan masih mengenakan seragam yang telah kesempitan, aku melihat fotonya, kancing bajunya bagai berteriak berusaha tetap melekat. Hanya satu centi dari ujung baju yang bisa masuk ke dalam celana, sedikit bertambah tinggi lagi maka baju itu akan menggantung di perut. Kaos kakinya yang bolong seperti sarung, dan sepatu hitam yang ada bekas tambalan, seperti ban sepeda.
Aku memberi yang ia butuhkan, sambil mendoakan agar anaknya kelak menjadi anak yang berguna, agar anaknya berbakti kepada orang tua yang telah berkorban demikian jauh untuknya. Perempuan itu menangis seperti bayi orok di dalam club. Dia hampir bersujud di depanku untuk berterima kasih, kalau saja aku tidak secepatnya mengangkat kedua siku lengannya.
Mia, aku sudah memandang dunia dengan cara yang sangat berbeda sejak aku mengenalmu. Aku sekarang percaya, dunia ini akan menjadi tempat yang lebih baik jika kita meneliti sebelum menghujat. Aku telah belajar banyak darimu, agar mempelajari terlebih dahulu pertarungan hidup macam apa yang sedang di hadapi seseorang sebelum aku mulai menudingkan jari. Dan sejak aku menerapkan itu, belum sekalipun jari telunjuk ini digunakan untuk menuding. Apalagi menghujat.
Seminggu yang lalu, seorang teman di kantor melakukan kecerobohan besar. Seluruh file draft yang kukirimkan dihapusnya, entah apa yang dia pikirkan. Membuatku menulis ulang semuanya selama 24 jam tanpa henti agar tetap bisa tayang di edisi berikutnya. Namun aku tidak marah Mia, sama sekali tidak. Padahal yang bersangkutan wajahnya sudah pucat, dia hanya sekali minta maaf, dan siap dipecat karena kesalahannya. Dia tidak tahu bahwa aku tidak melaporkan dia kepada atasan. Sebaliknya aku berbincang dengannya, dan setelah megeringkan satu gelas kopi, dia baru bercerita dengan air mata mengalir di pipi. Keluarganya sedang dirundung masalah besar. Istrinya keguguran anak pertama di dalam kandungan, dan dokter memvonis bahwa rahimnya harus di buang demi membersihkan tubuh dari kemungkinan infeksi. Istrinya menangis sejadi- jadinya membayangkan selama- lamanya tidak akan bisa punya anak, dan tidak mau makan ataupun minum. Bayangkan, jika aku mengadukan dia kepada atasan dan kemudian dia dipecat, aku mungkin akan menerima karma buruk. Dia menangis ketika aku bilang kepadanya, bahwa dia tidak akan dipecat, karena yang tahu mengenai ini hanya dia dan aku. Sejak saat itu dia bersikap dan memperlakukan aku seolah aku ini seorang nabi.
Hanya satu jari yang dibutuhkan untuk menuding dan menghujat. Padahal Tuhan memberikan lima jari kepada kita, agar kita dapat menggunakan semuanya untuk menggenggam dan menarik tangan yang sedang membutuhkan pertolongan.
Mengenal kamu adalah sebuah berkah bagi aku, tak peduli apa pandangan orang lain, bagi aku, kamu adalah sebaik- baiknya orang. Kamu berhasil membuat aku iri kepada adik- adikmu. Mereka sungguh beruntung lahir dari rahim yang sama denganmu. Akupun ingin memiliki seorang kakak seperti kamu. Kamu juga berhasil membuat aku malu, aku kalah dalam hal menjalani peran sebagai seorang kakak sulung. Seandainya adikku diberikan kesempatan untuk memilih, dia pasti lebih memilih kamu sebagai kakaknya. Dibandingkan aku yang sejak kecil merebut mainannya, dan mengajari dia cara memanjat pohon untuk mengambil mangga pak haji, sedangkan aku di bawah siap untuk melarikan diri.
Bagi aku, kamu adalah seorang martir. Dan bagi adik- adikmu, kamu adalah malaikat.
Lucu. Aku ini seperti sedang menampar mulutku sendiri. Jika kamu berada disampingku saat ini, kamu pasti menertawai aku. Dengan terkekeh memegang perut dan telunjuk yang nyaris menusuk hidungku.