Kicau burung pipit riuh bersahutan di atas pohon- pohon mahoni dan asam jawa. Bayangan pepohonan itu masih miring memanjang, membungkus seluruh rumah hingga terasa gelap, meskipun langit telah berwarna merah, kuning dan sedikit putih. Tapi suara- suara gaduh mulai terdengar di dalam rumah.
“Lala, nanti jangan lupa minta wortel sama Uwak waktu pulang yah.” Rani berdiri di depan kamar mandi. Dia berteriak berusaha mengalahkan suara cebar cebur dari dalam kamar mandi. Suara gayung menimba air berhenti.
“Apa Teh?” Tanya Lala dari dalam kamar mandi.
“Nanti kalau kamu pulang jangan lupa minta wortel sama uwak.” Ulang Rani.
“Kita udah ada cabe belum? Masa minta mulu, Lala gak enak hati sama Uwak. Sekali- kali kita tukaran.”
“Udah ada yang matang kok. Kamu petik saja nanti sebelum berangkat. Teteh berangkat dulu yah sekarang.”
“Iya Teh, hati- hati teh.”
Rani tersenyum. Adiknya mulai bisa beradu argumen dengannya. Sudah mengerti kata ‘gak enak hati’. Tiga tahun yang lalu, apapun yang disuruh akan dilakukan Lala tanpa mengenal tiga kata itu. Ah, alangkah cepat waktu berlalu.
Rani masuk ke dalam kamar, dan kembali mematut diri di sebuah cermin yang seukuran buku novel itu. Dia harus memegang dan menggerakkan cermin itu, miring sana dan sini demi melihat seluruh seragamnya terpantul di cermin. Sudah sempurna tampaknya. Rani menarik napas dalam- dalam, dan menghembuskan keluar dengan perlahan. Dia pernah membaca sebuah artikel yoga, mengajarkan cara seperti ini dapat membuat pikiran tenang dan tubuh rileks. Namun sepertinya pagi ini trik semacam itu tidak banyak membantu. Rani masih tegang.
Hari pertama mengenakan seragam putih abu- abu. Di sekolah yang baru, dengan teman- teman yang baru, bahkan arah perjalanan yang baru. Sekarang Lala harus berpisah jalan dengannya, dan mereka harus pulang dan pergi melalui jalan masing- masing. Dia membalikkan tubuh dan teringat sesuatu.
Di kepala ranjangnya, ada kira- kira setengah lusin foto berbingkai, salah satunya adalah bingkai segi lima, yang paling jelek dan sekaligus paling disukai oleh Rani. Bingkai ajaib ini dapat membuat dia tertawa dan menangis pada saat bersamaan. Dan sebuah bingkai indah yang masih baru, namun bukan foto yang ada di sana, melainkan sebuah puisi yang di hadiahkan oleh Roy kepada Rani dan Lala. Puisi yang setiap huruf dan katanya telah melekat di kepala Rani, bagaikan sila ketiga Pancasila.
Dear Rani and Lala
Pada saat kelelahan menggetarkan kedua tanganmu
Ingatlah kepada dua tangan kurus
Yang tak pernah berhenti memberi segalanya kepadamu
Pada saat ada halangan yang membuatmu gemetar
Ingatlah kepada senyum di wajahnya
Yang akan selalu menyertai sepanjang jalanmu
Pada saat langkah kaki mu tidak membawamu ke tempat terang
Ingatlah kepada langkah kaki yang menjengukmu setiap bulan