MEMBUNUH CUPID

Falcon Publishing
Chapter #2

Pertanda

Moscato?” tanya bartender yang bertugas malam itu.

Agno tak ingat namanya, tapi tak berniat bertanya lagi. Agno menjawab dengan lambaian. “Ahh, yang ringanringan sajalah. Hmmm, apa, ya?”

Moscato juga sangat ringan, lho. Sudah rasanya manis, buat pemula lagi.”

Agno tetap menggeleng. Si bartender menunggu sambil mengelap gelas hingga bening mengkilat. Instrumen musik lembut mengalun. Pengunjung Square Lounge tak seberapa banyak. Telinga Agno mendengar sesekali percakapan dan tawa samar.

Cappucino 86,” pilih Agno, disambut cengiran heran di wajah bartender.

“Kopi instan? Tumben banget, Bu Agno.”

“Hidup kadang butuh hal-hal ringan dan bahkan remeh-temeh seperti halnya kopi instan.” Agno menertawai kalimatnya sendiri. “Kepalaku puyeng. Berikan minumanku. Yang dingin, ya.”

Segera saja setelah mendapatkan botol minumannya, Agno tidak tinggal di lounge lebih lama. Si bartender tak heran. Agno mendekati lift dan memencet tombol ke atas. Di dalam lift dia menggerai rambut panjangnya. Lift tak sekali pun berhenti, terus melaju ke atas. Dia tak berjumpa satu orang pun; baik tamu maupun sesama hotelier. Larut malam yang sepi sepertinya. Bagus.

Jadi dia bisa menikmati balkon hotel di lantai 14 tanpa ada gangguan.

Angin di balkon bertiup tenang. Begitu semilir. Sejuk dan menenangkan. Apa lagi yang dibutuhkan olehnya selain ketenangan seperti ini? Pasangan hidup? Agno ragu kekasihnya kelak mampu memberikan ketenangan batin dan fisik. Paling-paling mereka kerap bertengkar, saling mengeluarkan kalimat-kalimat menyakitkan hati, ribut-ribut mengenai hal sepele yang sebenarnya tak patut dipermasalahkan.

Agno mencopot sepatu. Dia dengan santai duduk bersandar di pagar balkon, di sudut sepi dan temaram. Dia menyesap lagi minumannya. Botol itu membentur liontin di dadanya. Jari tangan Agno meraba liontin tersebut. Benda mungil berkilauan itu masih menggantung aman. Ooh, embus Agno lega. Kalung berharga yang paling dia sayangi, dibeli menggunakan tabungan dari gaji yang dulunya tak seberapa.

Setelah seharian bekerja dan semalaman tadi menghadiri pesta perayaan kebahagiaan semu, duduk menyepi dan berkontemplasi seperti ini selalu dilakukan Agno. Hari melelahkan mesti ditutup dengan tenang. Kali ini sembari menyesap sebotol kopi yang gurihnya bukan main. 

“Saudara-saudara sekalian, Bu Agno kini sedang berciuman dengan bibir botol minuman.” Bolehlah dia sedikit meracau demi meringankan kepala yang penat. Dia kembali menenggak kopi dinginnya.

Sejatinya, ketimbang kopi instan begini, Agno lebih memilih segelas dry wine. Sendirian menikmati angin malam Jakarta. Kota yang selalu hidup selama 24 jam dan terus menuntut orang-orangnya untuk bekerja begitu keras.

Lihat selengkapnya