Bukan manusia yang menodongkan dinginnya ujung senapan di keningku, melainkan parakang. Makhluk itu tertawa. Gigi taringnya berkilau di antara gelapnya siluet bangunan kota dan merahnya langit. Aku sering mendengar cerita tentang makhluk jadi-jadian itu, tapi baru kali ini aku bertemu langsung. Ada banyak versi. Yang ini punya tangan dan memegang senjata api.
Seorang lelaki berlari tak jauh di dekatku. Ia juga dikejar parakang. Sayang sekali siluman itu bisa terbang dan menangkapnya. Ia jatuh. Tidak sepertiku yang masih berlutut dalam todongan, si lelaki langsung ditembak mati.
Sepertinya parakang tidak peduli siapa target mereka. Aku melihat wanita hingga anak-anak ikut menjadi korban. Brutal. Kurang dari satu menit, aku bisa melihat puluhan orang tewas atau menghilang dalam kegelapan.
Jantungku berdegup kencang seiring bunyi kokang senapan. Aku berkeringat. Tawa parakang makin menggelegar bersamaan dengan teriakan massa di bawah langit merah kota Makassar. Aku semakin takut ketika melakukan kontak mata dengan parakang yang menyebut-nyebut namaku.
“Iswandi... Iswandi...”
“Iswandi?”
Mataku terbuka. Suara parau parakang beralih menjadi panggilan kakekku di luar kamar. Cahaya menerobos masuk ke dalam kamarku yang dicat biru muda. Kuseka air liur dari dagu wajah segitigaku yang tak berjanggut.
Kugaruk kepalaku yang ditumbuhi rambut lebat. Aku menguap. Benda pertama temanku berinteraksi setelahnya adalah smartphone yang menunjukkan tanggal 24 September 2019. Untuk orang sepertiku yang tidak terlalu peduli tentang ibadah, bangun jam setengah tujuh pagi bukanlah masalah besar.
“Sudah bangun, belum? Hari ini kau kuliah, toh?”
Seperti biasa, Kakek berisik di pagi hari. Tidak. Dia bukan tipe pria tua yang suka mengeraskan suaranya. Kakekku adalah pria 76 tahun bertubuh kekar kulit sawo matang dengan tutur kata lembut.
“Iye, sudah bangun,” jawabku sambil terus menggulir layar.
Ah, masih banyak waktu. Aku masih bisa membuka media sosial dan melihat postingan-postingan lucu sebagai pembangkit mood sebelum memulai hari. Aku cekikikan. Meme lelucon gelap tentang rezim orde baru memang tak pernah gagal membuatku geli.
Namun, kegembiraan pagiku diinterupsi notifikasi grup chat kampus. Dari Ketua Himpunan. Pesan agar semua mahasiswa berkumpul di parkiran kampus jam sembilan nanti, untuk persiapan demo besar-besaran di depan Gedung DPRD Sulawesi Selatan. Cih, bodo amat.
Oke, cukup asupan hormon tawanya. Sekarang saatnya bersiap melanjutkan rutinitas sebagai mahasiswa.
Aku mengernyit ketika melirik ke luar jendela. Seorang lelaki. Ia berdiri di depan pagarku. Tampilannya seperti berasal dari tahun 90 atau semacamnya, dengan ujung kemeja putih masuk ke dalam celana panjang hitam. Wajahnya kurang jelas. Yang pasti lelaki itu memandang ke arahku.
“Iswandi?” Kakek kembali memanggil.