Langit mulai menguning. Cahaya sore dari Barat membawa sensasi hangat yang aneh. Aku berdiri di depan tanah luas berpagar seng, berhadapan dengan si lelaki muda berpenampilan lawas. Tangan lelaki itu masuk ke saku celana.
“Aku dengar, kau suka lelucon gelap,” katanya.
Oke, ini benar-benar aneh. Segera kuraba saku celana jeans-ku mencari smartphone. Tidak ada. Bahkan dompet dan kunci motorku juga tak terasa. Motor... motor? Di mana motorku?!
“Percuma saja. Selain badan dan pakaianmu, tidak ada yang terikut ke sini.”
Aku mulai panik. “Di sini itu... di mana?”
Senyum lelaki itu makin melebar. Ia mendekat. Tangan kanannya menempel di bahu kiriku membuatku tersentak.
“Pertanyaan yang lebih tepat itu... kapan?”
Seorang penjual koran keliling menyeberang dan buru-buru melewatiku. Langkahnya cepat. Ia tak sadar menjatuhkan salah satu korannya, lantas terus melangkah ke balik pohon besar di ujung trotoar untuk buang air kecil.
Kupungut koran itu. Aku membeliak melihat tanggalnya. 10 Mei... 1998.
Tidak. Tidak mungkin. Namun, rasanya mustahil jika penjual koran itu menjajakan barang 21 tahun lalu. Oke. Sepertinya lelaki di sampingku benar, aku tiba di era yang sering kutertawakan.
Kuatur napasku, lalu menatap si lelaki berkacamata. “Apa ini hukuman?”
Dia tersenyum lagi. “Mungkin saja.”
“Bagaimana caraku kembali?”
Lelaki itu berjalan tiga langkah ke belakangku, lalu berdiri memandangi lalu-lintas jalan raya. “Buru parakangnya.”
“Hah?”
Si lelaki menoleh padaku, kemudian membelokkan kepalanya ke arah yang jauh selurus tempatku berdiri. Kuikuti matanya. Lima orang pria kekar berjaket kulit tampak berjalan mendekat dengan salah satu di antara mereka tampak memberi isyarat. Perasaanku tidak enak.
Pertanyaanku tidak terjawab karena lelaki berkacamata bulat sudah menghilang ketika aku menoleh. Tidak ada waktu. Aku tak sengaja melakukan kontak mata dengan sopir angkot. Ia berhenti. Kulempar koran. Kuambil kesempatan lengangnya jalanan untuk lari menyeberang, lalu menaiki angkot itu.