Memburu Parakang

Muhammad Naufal Monsong
Chapter #3

3

2008


Minggu menjelang siang, acara nonton kartun di rumah sudah selesai. Saatnya keluar. Namun, bermain di bawah terik matahari bukanlah gayaku dan teman-teman.

 

“Kak Mursan, kami mau dengar cerita seram,” pinta temanku mewakili.


Lelaki berkulit gelap rambut kriwil yang baru saja selesai mengatur barang jualan itu tersenyum lalu duduk di dekat kami. Namanya Mursan. Pria ramah berusia dua puluh tahunan tamatan SMA, menyambung hidup sebagai pedagang warung kecil di rumahnya, sebelah rumahku. Kami anak-anak ingusan sering mampir ke terasnya yang luas dan teduh untuk bermain.


“Duduk ko semua,” panggil Kak Mursan, “Kalian mau dengar satu cerita tentang kakakku dulu?”


Aku dan lima temanku duduk melantai. Antusias. Mata bulat Kak Mursan terlihat serius saat memulai cerita. Sangat meyakinkan. Wajah lonjongnya sesekali menggeleng saat bibir monyongnya menekankan intonasi di bagian menegangkan.


“Sejak malam sepuluh tahun lalu, kakakku tidak pernah pulang. Mau tahu kenapa bisa? Dia diculik parakang!”


***


1998


Matahari mulai meninggi. Anak itu mengajakku ke rumahnya, di sebuah daerah pemukiman dekat toko listrik, sekitar 300 meter dari tempatku pingsan Lawas. Aku bisa melihat seorang kakek duduk di teras rumah sambil bermain dengan beo dalam sangkar. Ada pula wanita sipit paruh baya membuka toko dengan wajah datar.


Benar. Dia Kak Mursan sewaktu kecil. Ciri fisiknya benar-benar persis Kak Mursan, kecuali tinggi badan lebih mini, tubuh lebih kurus, dan rambut kriwil lebih pendek. Wajar. Tahun ini dia masih kelas empat SD.


Mursan kecil mempersilakanku masuk ke rumah berdinding seng cat kuning miliknya. Lampu rumah masih menyala. Ia mematikannya. Selain listrik, tak ada lagi barang mewah di rumah itu. Mursan kecil kemudian menyibak kain kecil tirai jendela kaca. Sepi. Ada cukup banyak barang tertata rapi, tapi tak menghilangkan kesan kemiskinan.


Ah, aku ingat. Di masa depan, Kak Mursan bercerita tentang hidupnya yang sebatang kara. Ayahnya dipenjara karena mencuri ayam, sedangkan ibunya kawin lagi dan pergi begitu saja. Dia dipaksa mandiri. Masih syukur karena tetangga sebelah bersedia berbagi bahan pangan.


Seperti di garis waktu asliku, Mursan yang ini juga sama baiknya. Ia bahkan mau bersusah-susah membuatkanku teh panas. Aku menyeruputnya. Setelahnya, ia masih sempat mengajakku sarapan dengan makanan di balik tudung saji. Nasi dan tempe goreng sisa semalam.


“Mursan, kenapa kau menolongku? Kau, ‘kan, tidak kenal?”


Mursan kecil diam sejenak, matanya fokus pada nasi di bakul yang ia sendok. “Kakakku diculik parakang.”


Kulirik dia. Benar juga. Saat aku kecil, cerita tentang parakang itu berlatar sepuluh tahun sebelumnya, yang berarti tahun ini. Meski begitu, di masa depan pun Kak Mursan tidak pernah menyebutkan nama dan tingkat pendidikan kakaknya.


Mursan meletakkan tempe di piringku. “Aku dengar, orang-orang yang diculik parakang akan kembali besok paginya. Makanya sejak kakakku hilang, aku sering jalan-jalan setelah Subuh.”


“Jadi, maksudmu...?”

Lihat selengkapnya